Tugas / Soal
1. Apa Fitri ( Fitrah itu ) ?
2. Kembalinya Kemana ?
3. Bagaimana Caranya Kembali ?
Jawaban’
1.Apa Fitri (Fitrah) itu ?
Fitrah berasal dari akar kata f-t-r
dalam bahasa Arab
yang berarti membuka atau menguak. Fitrah sendiri mempunyai makna asal
kejadian, keadaan yang suci dan kembali ke asal. Dalam Islam terdapat konsep
bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah dalam hal ini
berarti bayi dilahirkan dalam keadaan suci, tidak memiliki dosa apapun.
Seseorang yang kembali kepada fitrahnya, mempunyai makna ia mencari kesucian
dan keyakinannya yang asli, sebagaimana pada saat ia dilahirkan. Agama Islam
sesuai dengan fitrah manusia. Ini dibuktikan dalam Moral Islam,
“ atau Fitrah berarti asal kejadian,
bawaan sejak lahir, jati diri dan naluri
manusiawi. Agama (yang bersumber dari Tuhan) yang intinya adalah Ketuhanan Yang
Mahaesa, menurut al- Qur’an, adalah fitrah (QS. al-Rum: 30). Konsep fitrah
memiliki dua pengertian yang saling berkaitan:
a). Fitrah Mukhallaqah, yaitu fitrah yang diciptakan oleh
Allah pada manusia, sejak awal kejadiannya, berupa naluri, kecenderungan positif, dan potensi-potensi
dasar (qalbiyyah,
aqliyah, dan jismiyah), yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi potensi yang efektif dalam hidupnya.. Potensi-potensi dasar tersebut dilatih melalui jihad (pelatihan fisik), ijtihad (pelatihan rasio) dan mujahadah (pelatihan jiwa). Dengan pelatihan tersebut, manusia akan mereformasi dirinya terusmenerus sehingga mampu membangun nilai-nilai luhur yang berguna bagi peradaban bangsa
aqliyah, dan jismiyah), yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi potensi yang efektif dalam hidupnya.. Potensi-potensi dasar tersebut dilatih melalui jihad (pelatihan fisik), ijtihad (pelatihan rasio) dan mujahadah (pelatihan jiwa). Dengan pelatihan tersebut, manusia akan mereformasi dirinya terusmenerus sehingga mampu membangun nilai-nilai luhur yang berguna bagi peradaban bangsa
b). Fitrah
Munazzalah, yaitu fitrah yang diturunkan oleh Allah sebagai acuan hidup bagi
manusia dan sebagai bimbingan hidupnya, sejalan dengan kebutuhan Fitrah Mukhallaqah-nya (Fitrah Munazzalah ini yang kemudian populer dengan istilah agama). Dimensi al-fitrah sebagai struktur psikis manusia bukan hanya memiliki daya-daya, melainkan sebagai identitas esensial yang memberikan ‘bingkai’ kemanusiaan bagi al-nafs (jiwa) agar tidak bergeser dari kemanusiaannya. Jika seluruh struktur jiwa masih berada pada lingkup ‘bingkai’ fitrah ini, maka jiwa (al-nafs) tidak akan kehilangan kemanusiaannya. Sebaliknya jika sampai daya-daya jiwa manusia melampaui ‘bingkai’ fitrah itu, maka manusia akan keluar dari fitrah kemanusiaannya, baik dalam arti positif maupn dalam arti negatif. Dalam arti positif,bahwa manusia telah kehilangan nafsu insaniyyah, sehingga ia menyerupai ‘malaikat’. Sedangkan, dalam arti negatif, bahwa manusia telah kehilangan daya spiritualnya, sehingga jatuh terjerembab kepada ‘shaitan’
manusia dan sebagai bimbingan hidupnya, sejalan dengan kebutuhan Fitrah Mukhallaqah-nya (Fitrah Munazzalah ini yang kemudian populer dengan istilah agama). Dimensi al-fitrah sebagai struktur psikis manusia bukan hanya memiliki daya-daya, melainkan sebagai identitas esensial yang memberikan ‘bingkai’ kemanusiaan bagi al-nafs (jiwa) agar tidak bergeser dari kemanusiaannya. Jika seluruh struktur jiwa masih berada pada lingkup ‘bingkai’ fitrah ini, maka jiwa (al-nafs) tidak akan kehilangan kemanusiaannya. Sebaliknya jika sampai daya-daya jiwa manusia melampaui ‘bingkai’ fitrah itu, maka manusia akan keluar dari fitrah kemanusiaannya, baik dalam arti positif maupn dalam arti negatif. Dalam arti positif,bahwa manusia telah kehilangan nafsu insaniyyah, sehingga ia menyerupai ‘malaikat’. Sedangkan, dalam arti negatif, bahwa manusia telah kehilangan daya spiritualnya, sehingga jatuh terjerembab kepada ‘shaitan’
Kemudian
definisi fitrah yang di kaitkan dengan ke Islaman, keimanan dan Iksan yang di kemukakan para pakar definisi fitrah sebagai berikut “Pengertian
Fitrah dan Hubunganya dengan Islam,Iman dan Ikhsan” Kata fitrah berasal dari kata (fi’il) fathara yang berarti
“menjadikan” secara etimologi fitrah berarti kejadian asli,agama,
ciptaan, sifat semula jadi, potensi dasar, dan kesucian lalu ada beberapa
definisi yang menerangkan tentang masalah fitrah yaitu sebagai berikut :
- Menurut ibn al-Qayyim dan ibn al-Katsir, karena fatir artinya menciptakan, maka fitrah artinya keadaan yang dihasilkan dari penciptaannya itu
- Menurut hadist yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia. Sebab lafadz fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Qur’an dalam konteksnya selain dengan manusia
- Dalam kamus Al Munjid yaitu kamus bahasa arab terluas kata fitrah diartikan atau di definisikan sebagai sunnah, kejadian, tabiat.
- Menurut Syahminan Zain (1986 : 5), bahwa fitrah adalah potensi laten atau suatu kekuatan yang terpendam yang ada dalam diri manusia, yang dibawanya sejak lahir dan itu semua di miliki oleh setiap manusia
Dari berbagai definisi di atas atau pandangan para pakar
mengenai fitrah semua itu masih bersifat umum hal ini bisa kita lihat sepertia
firaman Allah Swt :
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan
selurus-lurusnya (sesuai dengan kecenderungan aslinya), itulah fitrah Allah.
Yang Allah menciptakan manusia diatas fitrah itu. Itulah agama yang lurus.
Namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya”
( Ar-Rum : 30 )
“Tiap-tiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hanya bapak ibulah yang menjadikan Yahudi, Nasrani dan Majusi”.(H.R. Muslim)
Dari
berbagai pendapat para ulama bisa di simpulkan bahwa fitrah adalah suatu
kemampuan manusia yang di berikan oleh Allah Swt sejak manusia di
lahirkan ke dunia dan itu adalah anugrah
Hubungan antar
kesimpulan di atas mengenai islam ,Iman dan Ikhsan kami berpendapat bahwa
fitrah ini muncul dari dorongan iman dan dan kita mengetahui iman berkat
islam dan islam yang di tempuh dengan terus menerus dengan istiqi\omah
maka dan muculah fitrah dalam diri manusia dan sebagaian manusia kata
Allah tidak mengetahuinya dan rasulullah mengatakan bapak,ibu merekalah yang
membuat mereka kafir.
Jawaban
‘
2). Kembalinya Kemana ?
Kalau
kita tadi berbicara pengertian definisi fitrah, sekarang kita menjawab
kembalinya kemana fitrah tersebut, “ Idul Fitri adalah hari
raya Islam yang disebut hari raya berbuka, setelah sebulan penuh kita berpuasa,
menahan lapar dan dahaga, kini tibalah saatnya hari berbuka. Sebagai muslim,
kita wajib meyakini bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan kita kecuali untuk
menyembah kepada-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.“ (QS. Az-Dzariyat: 56). Olehnya itu, jika ada
manusia yang menyombongkan diri tidak mau taat dan tunduk kepada Allah SWT,
maka ia telah mengingkari tujuan ia diciptakan. Akibat dari keingkaran
tersebut, ia akan menghuni neraka dalam keadaan dihinakan.
Ketika masih berada di alam rahim, Allah
SWT telah mengambil perjanjian kesiapan dari manusia untuk menyembah hanya
kepada-Nya sebelum mereka lahir ke muka bumi ini. Allah SWT menanyai ruh
manusia tentang kesiapan mereka mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dengan
semua konsekuensinya, lalu ruh tersebut menjawab dengan tegas bahwa mereka
bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang berhak mereka imani dan mereka sembah.
Allah bertanya kepada ruh tersebut:
Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang lengah terhadap (ketauhidan) ini” (QS. Al-A’raf: 172)
Dalam menjaga komitmen kehambaan yang diikrarkan pada
alam rahim tersebut, Allah SWT memerintahkan manusia setelah ia lahir, agar
menghadapkan wajahnya kepada agama yang lurus sebagai fitrah kehambaannya,
sebagaimana firman-Nya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)
Fitrah adalah
kesucian jiwa yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Namun keadaan
manusia sekitarnya yang telah mempengaruhinya sehingga menodai kesucian fitrah
tersebut. Maka berubahlah ia dari ketauhidan menjadi kemusyrikan, dari keimanan
menjadi kekafiran.
Rasulullah SAW bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Fitrah adalah suasana jiwa yang suci yang menjelma dalam
pemeliharaan tauhid, ketundukan dan penghambaan, serta pemeliharaan kesucian
diri sebagai hamba Tuhan yang Maha Pengasih. Jika di penghujung Ramadhan ini
kaum muslimin merayakan hari Raya Idul Fitri, tentu maknanya adalah kesiapan
untuk menjadikan momentum Ramadhan ini sebagai proses pembersihan diri dan
kesadaran akan urgensi kembali kepada fitrah. Inilah wujud kembalinya Fitrah
tersebut
Jawaban ‘”
3). Bagaimana Caranya Kembali ?
Cara kembalinya
ke fitrah pada hakikat kembalinya fitrah itu diwujudkan dalam bentuk mengokohkan ketauhidan, menguatkan komitmen ubudiyah, dan memelihara
karakteristik terpuji
1. Wujud kembali kepada fitrah yang pertama adalah: Mengokohkan
Ketauhidan
Ibadah Ramadhan telah kita sempurnakan, mulai dari
puasa, shalat tarawih, tilawatil Qur’an, membayar zakat fitrah dan zakat harta,
I’tikaf, membaca dzikir dan ma’tsurat, hingga hari ini kita tuntaskan dengan
melaksanakan shalat Idul fitri. Semuanya itu kita yakini sebagai bentuk
aktualisasi keimanan kita kepada Allah SWT.
Sebagai hamba, kita menyadari begitu banyak kekurangan
yang telah kita lakukan. Terkadang kita sibuk berhari-hari, berbulan-bulan,
atau bahkan bertahun-tahun bekerja keras dan banting tulang hanya untuk
menyenangkan hati orang-orang yang kita cintai. Suami menghabiskan hampir semua
waktu siangnya untuk menyenangkan istrinya hingga berkali-kali ia meninggalkan
shalat Zhuhur dan Asharnya, dan istri menghabiskan hampir semua waktu malamnya
untuk menyenangkan suaminya hingga berkali-kali ketinggalan shalat Maghrib dan
isyanya. Keadaan itu tentu menjadikan kita seolah lemah keimanannya hingga
boleh jadi sampai pada titik keimanan yang sangat lemah. Jika suasana itu terus
berlanjut, kita pasti akan semakin jauh dari fitrah kita.
Ramadhan adalah momentum yang sangat efektif untuk
mengokohkan keimanan kita dan mengembalikan kita kepada fitrah. Ramadhan
merupakan bulan yang disiapkan Allah SWT untuk mendidik jiwa-jiwa yang
menjauhi-Nya untuk kembali kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang berlumur dosa
untuk datang memohon ampunan kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang lalai dari
ibadahnya untuk bersimpuh bersujud dan mengikhlaskan pengabdiannya.
Semoga Ramadhan ini mampu kita buktikan sebagai bulan mengokohkan iman
dan ihtisab (mengharap pahala) kita kepada-Nya, sehingga kita semua mendapatkan
ampunan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
Barang siapa berpuasa dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala hanya
dari Allah), akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Melalui momentum Idul fitri ini, marilah kita
mengokohkan keimanan dan tauhid kita, yang dengannya kita akan senantiasa
terjaga pada fitrah kehambaan kita yang lurus, kita akan dijauhkan dari sikap
menghinakan diri kepada makhluk. Dengan kekuatan tauhid, orang yang kaya akan
menjaga fitrah dirinya sehingga tidak sombong dan angkuh, dengannya pula orang
miskin akan tegar mengarungi ujian hidupnya dan tidak berputus asa.
2. Wujud kembali kepada fitrah yang kedua adalah: Menguatkan Komitmen
Ubudiyah
Fitrah kehambaan menuntut setiap muslim untuk
membuktikan komitmen ibadahnya. Dia dituntut tidak hanya bersungguh-sungguh
menunaikan semua ibadah-ibadah fardhu, tapi juga ibadah-ibadah sunnah.
Dengan pembuktian komitmen tersebut, setiap muslim akan mampu
mengantarkan dirinya kepada ketakwaan. Al-Qur’an menegaskan bahwa dibalik
perintah ibadah puasa tersebut Allah SWT menghendaki agar setiap hamba yang
melaksanakannya dapat mengantarkan dirinya ke derajat takwa.
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Perintah takwa adalah perintah agama yang harus dilanggengkan dalam
kehidupan setiap muslim, ia wajib memeliharanya hingga ia berhadapan dengan
kematiannya. Apabila seseorang memelihara ibadahnya secara benar dan konsisten,
akan terangkat derajat ketaqwaannya, suatu derajat istimewa yang menjadikannya
lebih mulia dari hamba-hamba yang lain. Allah SWT berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa supaya kalian saling kenal mengenal. “ Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.
Al-Hujurat: 13)
Jika seorang muslim ingin membuktikan kesungguhannya
untuk kembali kepada fitrahnya, salah satu bentuknya adalah dengan membuktikan
komitmen ibadahnya. Ia memelihara shalat yang difardhukan kepadanya dan
melengkapinya dengan shalat-shalat sunnah. Ia berpuasa wajib dan melengkapinya
dengan puasa-puasa sunnah. Mengeluarkan zakat dan menyempurnakannya dengan
infak dan sedekah. Ia melaksanakan haji ke Baitullah dan menyempurnakannya
dengan umrah.
Ibadah itu mempunyai tujuan asasi dan tujuan-tujuan lain
yang menyertainya, di mana tujuan-tujuan yang menyertai ibadah tersebut
merupakan keshalihan jiwa dan meraih keutamaan dalam setiap ibadah. Imam
As-Syathibi mengatakan bahwa asal mula disyariatkannya ibadah shalat adalah
ketundukan kepada Allah SWT dengan mengikhlaskan penghadapan diri kepada-Nya,
bersimpuh di atas kaki kehinaan di hadapan-Nya dan mengingatkan jiwa agar
senantiasa ingat kepada-Nya. Allah SWT berfirman ;” “Dan dirikanlah shalat
untuk mengingat Aku” (QS. Thaha: 14) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) lebih besar keutamaannya.” (QS.
Al-Ankabut: 45).
Dengan menjaga konsistensi ibadah dan menegakkannya
secara sempurna, seorang muslim akan terpelihara fitrah kesuciannya.
3.Wujud kembali kepada fitrah yang ketiga adalah: Memelihara
Karakteristik Terpuji
Cara lain memaknai pemeliharaan fitrah kita adalah
dengan menjaga karakteristik kehambaan kita. Karakteristik yang dimaksud adalah
karakter amanah, jujur, sabar dan syukur. Apabila seseorang memiliki
sifat-sifat tersebut, maka ia akan merasakan ketenangan dalam hidupnya. Ia
tidak perlu merasa khawatir sebagaimana khawatirnya orang yang suka berkhianat,
karena takut terbongkar pengkhianatan-nya, atau seperti pendusta yang takut
terbongkar kebohongannya. Ia juga akan terhindar dari bahaya pertengkaran dan
perselisihan yang besar, karena sifat sabar yang dimilikinya. Bahkan ia akan
dicintai orang sekitarnya, karena tidak menunjukkan sifat tamak dan rakus,
disebabkan kuatnya sifat syukur dalam dirinya.
Orang yang amanah, jujur, sabar dan syukur adalah orang
yang akan disenangi dan dirindukan semua orang. Ia adalah bukti nyata orang
yang bersungguh-sungguh memelihara fitrah kehambaanya. Semua karakter terpuji
itu tentu tidak lahir begitu saja, tapi melalui proses penempaan dan pelatihan.
Dan salah satu sarana pelatihan itu adalah puasa. Dengan berpuasa, seseorang
akan terdidik untuk bersifat amanah, karena dalam berpuasa ia sudah melatih
dirinya agar amanah memelihara puasanya dari segala hal yang membatalkannya,
meski pun orang lain tidak melihatnya. Ia memelihara amalan puasanya
semata-semata karena Allah SWT. Ia mungkin bisa berbohong kalau ia makan dan
minum secara sembunyi, tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri yang
sedang terkondisi untuk mendekat kepada Allah SWT.
Puasa juga membentuk karakter sabar. Rasulullah SAW
bersabda: “Puasa adalah setengah dari kesabaran”. Dengan menguatnya sifat sabar
pada diri seorang muslim, ia akan bisa menjaga diri untuk tidak terlibat dalam
konflik, pertentangan, apalagi permusuhan sekecil apa pun lingkup dan kadarnya.
Dan kalau pun harus terlibat dalam sebuah perbedaan pendapat, maka ia akan bisa
menyikapinya dengan sikap-sikap yang bijaksana. Ia tidak mau perbedaan pendapat
itu mengundang malapetaka yang besar, yaitu munculnya rasa gentar dan hilang
kekuatannya dalam menghadapi musuh-musuhnya. Ia merenungkan firman Allah SWT
tentang hal tersebut:
Dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)
Marilah kita kokohkan persaudaraan kita sesama muslim di
atas rasa cinta dan itsar (mengutamakan saudara). Janganlah perbedaan-perbedaan
seperti menetapkan masuknya 1 Syawal menjadikan kita saling berbantah-bantahan
dan saling membenci. Sikap itu hanya akan memuaskan setan dan hawa nafsu yang
selalu menyuruh kepada keburukan. Kita juga akan dihinggapi rasa lemah dan
gentar sehingga kita tidak akan pernah menjadi umat yang kuat. Hati kita pun
akan kehilangan karakteristiknya yang terpuji, berganti dengan karakter
pemarah, egois, dan merasa paling benar. Akhirnya kita tidak kembali kepada
fitrah, padahal suana berkumpul menaikkan shalat Idul fitri hari adalah agar
kita ( umat ) kembali kepada fitrah kita.