Jawaban Studi Hadist


Jawaban 
1 Ikhtilaf  dan  ta’arrudh dalam hadis
a.       Sebutkan faktor-faktor penyebabnya
b.      Bagaimana sikap para ulama menghadapinya

A.      Untuk menjawab Ikhtilaf dan  ta’arudh dalam hadist  dan faktor – faktor penyebabnya  tsb diatas  kita harus tau makna ikhtilaf  dan perbedaanya secara hakiki,” karena ikhtilaf dibagi dua yaitu :
·         Ikhtilaf Qulub yaitu perbedaan dan perselisihan hati yang termasuk katagori tafaruq  atau di sebut juga  perpecahan. Dan oleh karena itu tertolak dan tidak bias di maafkan atau di  tolierer , karena ikhtilaf ini meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar umat, tanpa membedakan tingkat topic permasalahan faktor penyebabnya, dan unsure  pelaku, dan seterusnya. Jadi jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga muncul rasa benci, permusuhan sikpa “ wala bara “ dan seterusnya , ‘ maka bereti itu termasuk tafarruq atau perepecahan yang tercela.

·         Iktilaf Uqul Walafkar atau perbedaan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman.” Yang meliputi dua bagian

1.       Ikhtilaf Ushul ( Prinsip ) , “  ikhtilaf ini termasuk katagori tafarruq atau iftiraq ( perpecahan ) dan termasukyang tertolak , maka pembahasan nya tidak termasuk dalam fiqhul Ikhtilaf, melainkan dalam materi akidah ( Fiqih Perpecahan ) dan perselisihan inilah yang menimbulkan kelompok – kelompok sempalan dan menyimpang di dalam islam yang biasa de kenal dengan sebutan firqoh – firqoh sesat dan ahlul bia’ah  akidah dan mengikuti hawa nafsunya.
2.       Ikhtilaf  dalam masalah – masalah furu ( cabang, Nonprinsip), inilah perbedaan – perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk katagori  Ikhtilaf Tanawu atau perbedaan keragaman yang di terima dan di tolirer, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya. 
 Setiap tafarruq atau perpecahan merupakan iktilaf  (perpecahan ) , namun tidak setiap iktilaf ( perbedaan I) merupakan tafarruq ( perpecahan. namun setiap ikhtilaf bias dan perpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antar  lain karena faktor – faktornya  dan musababnya yaitu :
·         Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan sikap fanatisme yang tercela, sikap kultus individu atau menokohkan, sikap menang-menangan, dalam beda pendapat dan semacamnya. Dan faktor  pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang menpengaruai perbedaan wacana dalam masalah  FURU “ IFIHADIYAH yang di tolirer menjadi perselisihan hati yang tercela.
·          Salah Persepsi atau salah memperselisihkan masalah, misalnya memperselisihkan masalah furu’ sebagai masalah ushul,” Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan umat islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf ,” yang mereka miliki hanya fiqhul tafarruq wal iftitaq atau fiqhul peerpecahan, dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolirer, dan  karenanya senantiasa di sikapi dengan sikap Wala dan Bara
·         Di samping faktor tsb. diatas juga  sebab – sebab terjadinya ikhtilaf juga di sebabkan perbedaan pendapat tentang Valid tidaknya suatu teks dalil syar’I tertentu sebagai hujjah, tentu ini  tertuju kepada teks hadis yang memang ada yang shahih dan ada yang doi’f dan tidak tertuju kepada Nash Al-Quran , karena Al-qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir.
·         Kemudian juga di sebabkan perbedaan pendapat dalam mengentrepetasikan teks, dalil  Syar’I tertentu jadi meskipun suatu dalil telah di sepakati  shahihnya, namun petensi  perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar,” di sebabkan perbedaan dan perselisihannya, juga dalam melakukan pemanduan dan pentarzihan antara dalil  dan dalil –dalil yang terkait.
·         Perbedaan pendapat yang dilatarbelakangi oleh realita perubahan kehidupan, situasi dan tempat masarakat dan semacamnya.
·         Perbedaan pendapat tentang kaidah ushul  fiqh dan beberapa dalil  atau sumber hokum syar’I dalam masalah – masalah yang tidak ada nashnya, yang memang di perselisihkan di antara ulama, sperti Qiyas, Istihsar Mashalil mursalal dan lain – lainya.
Jawaban untuk B.
B.       Bagaimana sikap para ulama dalam menyikapi ikhtilaf dan ta’arudh dalam hadis?
Para ulama orang – orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga dalam masalah tertentu, ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan, namun mereka tidak saling mencela satu sama lain, coba kita lihat Pelajaran dan Teladan dari para Ulama Salaf  dibawah ini  dalam menyikapi ikhtilaf dalam hadis :
·         Ulama Yunus bin  Al Iman Syafi’I .berkata  Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain, Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
·         Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
·         Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
·         Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
·         Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah (atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah) pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justeru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
·         Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366).
·         Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
·         Imam Abu Hanifah rahimahullah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras ... (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109).
·         Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
Diceritakan dari Imam Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali rahimahullah bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau. Maka beliau berkata kepadanya: Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami? Ia menjawab: Saya meninggalkan madzhab itu karena saya senang dan tertarik denganmu. Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata: Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka statusmu tetap berada dalam madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah  seperti penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik (lihat: Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah hal. 483).
Kesimpulan para ulama dalam menyikapi ikhtilaf dan ta’arudh dalam hadis, dari contoh – contoh pelajaran yang beliau gambarkan dalam riwayat tersebut diatas yaitu  mereka selalu menekankan pada ikatan ukuwah islamiyah yang kokoh tidak terpecah akibat perbedaan pendapat, mereka  selalu perpeggang saling menghormati dan lapang dada dalam setiap perbedaan, “ selama perbedaan tersebut ada dalil dan Nashnya yang bias di pertanggung jawabkan.       

Jawaban  No 2.
2.  Dalam  sejarah perkembangan hadits atau sunnah, kita jumpai “ inkar sunnah dan “ Pembela Sunnah, sebutkan argument yang di gunakan oleh masing – masing pengingkar dan pembela sunnah !
 Argumen Para Inkar Sunnah  yaitu : Selain berbagai ajaran dan pemahaman sesat yang mereka percayai mereka dan yang membuat mereka hanya mau beriman kepada Al-Qur`an dan menerima Al-Qur`an saja sebagai satu-satunya kitab sumber syariat; mereka pun juga mempunyai sejumlah alasan kenapa menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Meskipun menurut pengakuan mereka, sebetulnya yang mereka tolak bukanlah Sunnah Rasul, karena Sunnah Rasul adalah Al-Qur`an itu sendiri. Akan tetapi, yang mereka tolak sejatinya adalah hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Nabi. Sebab, hadits-hadits tersebut –menurut mereka– merupakan perkataan-perkataan yang dikarang oleh orang-orang setelah Nabi. Dengan kata lain; hadits-hadits itu adalah buatan manusia!
Diantara Argument Mereka  Yang Inkar  Terhadap Sunnah  yaitu :
·         Yang Dijamin Allah Hanya Al-Qur`an, Bukan Sunnah,” Sekiranya Allah menghendaki akan menjaga agama Islam ini dengan Al-Qur`an dan Sunnah, niscaya Dia akan memberikan jaminan tersebut dalam Kitab-Nya. Akan tetapi, karena Allah menghendaki bahwa hanya Al-Qur`anlah yang Dia jamin, maka Allah sama sekali tidak memberikan jaminan kepada selain Al-Qur`an. Allah tidak memberikan jaminan-Nya kepada Sunnah. Allah telah mencukupkan agama ini dengan Al-Qur`an saja tanpa yang lain. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,
      إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ .
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-dzikr (Al-Qur`an), dan Kami benar- benar akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9) “ Dalam ayat ini, yang dijamin akan dijaga oleh Allah adalah Al-Qur`an ( Menurut Pemahaman merka) .

·        Nabi Sendiri Melarang Penulisan Hadits

Sama seperti Syiah yang tidak konsisten dengan sikapnya terhadap Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhu. Betapa bencinya mereka (orang-orang Syiah) kepada Umar yang dianggap sebagai perampas hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah.
Mereka juga mengatakan, bahwa Umar-lah yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi. Namun, di satu sisi, mereka memuji-muji Umar atas sikapnya yang menegur bahkan sampai memukul Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dikarenakan banyaknya Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Nabi.
Begitu pula dengan kelompok inkar Sunnah. Di satu sisi mereka menolak hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tetapi di sisi lain, manakala ada hadits yang sesuai dengan nafsu syahwat mereka, maka mereka pun mendukungnya. Bahkan, tanpa malu-malu mereka menjadikannya senjata untuk membenarkan sikap mereka dalam menyerang Sunnah Nabi.
Mereka selalu mendengung-dengungkan dan berpegang pada hadits Nabi yang mengatakan,”
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku selain Al-Qur`an. Barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur`an, maka hendaklah dia menghapusnya.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Ad-Darimi dari Abu Said Al-Khudri).
Yang dimaksud “tentang aku” atau “dariku” dalam hadits ini adalah segala yang berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik itu berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), maupun persetujuan (sunnah taqririyah).
Dan hadits lain yang diriwayatkan Imam Al-Khathib Al-Baghdadi (w. 463 H) dari Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menemui sebagian sahabat yang ketika itu sedang menulis hadits.
 Beliau berkata,
“Kalian sedang menulis apa?”
Mereka menjawab,
“Hadits-hadits yang kami dengar dari Anda.”
Beliau bersabda,
“Apakah kalian berani menulis kitab selain Kitab Allah? Sesungguhnya umat-umat sebelum  kalian itu menjadi sesat dikarenakan mereka menulis kitab bersama-sama Kitab Allah Ta’ala..
Dua hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada, mereka jadikan alasan untuk menolak Sunnah. Sebab, Nabi sendiri telah melarang penulisan hadits. Lalu, bagaimana mungkin umatnya mengaku memiliki hadits-hadits yang bersumber dari Nabi? Jadi, sesungguhnya yang namanya hadits Nabi itu tidak ada, karena Nabi sendirilah yang melarang menulis hadits. Dan, memang tidak mungkin bagi Nabi untuk mengatakan perkataan-perkataan selain Al-Qur`an!

·       Hadits Baru Dibukukan Pada Abad Kedua Hijriyah

Orang-orang inkar Sunnah sama saja dengan para orientalis dalam hal ini. Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang terdapat dalam kitab-kitab Sunnah banyak bohongnya dan mengada-ada karena baru dibukukan ratusan tahun setelah Nabi wafat. Kata mereka, isi kitab-kitab yang diklaim sebagai berasal dari Nabi itu tak lain merupakan hasil dari gejolak politik, sosial, dan keagamaan yang dialami kaum muslimin pada abad pertama dan kedua. Jadi, bagaimana mungkin kitab yang dibukukan sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi diyakini sebagai Sunnah Nabi?
Ignaz Goldziher (1850 – 1921 M), salah seorang tokoh orientalis Yahudi dari Hongaria mengatakan, “Sebagian besar hadits adalah hasil perkembangan keagamaan, politik, dan sosial umat Islam pada abad pertama dan kedua. Tidak benar jika dikatakan bahwa hadits itu merupakan dokumen umat Islam sejak masa pertumbuhannya. Sebab, itu semua merupakan buah dari usaha umat Islam pada masa kematangannya.
Kata orang inkar Sunnah, apabila memang benar bahwa hadits-hadits itu bersumber dari Nabi, semestinya sudah dibukukan sejak masa Nabi hidup. Bukan dua abad setelah beliau wafat.

·        Banyak Pertentangan Antara Satu Hadits dengan Hadits yang Lain

Di antara alasan yang membuat mereka menolak hadits adalah terdapat banyaknya hadits-hadits yang bertentangan satu sama lain. Kata mereka, sekiranya itu adalah benar berasal dari satu sumber, yakni dari Nabi, niscaya tidak akan ada di dalamnya hadits yang bertentangan. Lalu mereka pun menyebutkan sejumlah contoh hadits dalam suatu masalah yang saling bertentangan. Dan, di antara hadits yang sering mereka permasalahkan, misalnya adalah hadits tentang bacaan tasyahhud, dimana banyak sejumlah riwayat tentang bacaan dalam tasyahhud ini.Kemudian, dikarenakan hal ini, mereka (inkar Sunnah) pun mengganti bacaan tasyahhud dengan ayat kursi!

·        Hadits Adalah Buatan Manusia

Orang inkar Sunnah selalu mendengung-dengungkan bahwa yang diturunkan Allah Ta’ala hanyalah Al-Qur`an, dan bahwa selain Al-Qur`an adalah bukan dari Allah. Mereka hendak mengatakan, bahwa hadits-hadits Nabi atau Sunnah adalah buatan manusia, yang tidak mesti diikuti kecuali jika cocok dengan akal. Demikianlah salah satu cara mereka untuk menjauhkan kaum muslimin dari Sunnah Nabinya.
Salah seorang tokoh mereka, DR. Muhammad Khalafallah berkata, “Selain Al-Qur`an adalah pemikiran manusia, dimana kita berinteraksi dengannya sesuai dengan akal kita.”
Perkataan semacam ini kurang lebih sama dengan apa yang dikatakan Goldziher, “Ribuan hadits adalah buatan para ulama yang ingin membuat agama ini menjadi sempurna. Para ulama itu membuat-buat hadits sendiri karena dalam Al-Qur`an hanya sedikit hukum yang diberikan.”
Setelah memaparkan sejumlah pendapat dari DR. Ishmat Saifuddaulah (seorang tokoh inkar Sunnah) yang menyerang Sunnah dan mendiskreditkan para ulama, DR. Salim Ali Al-Bahnasawi menyimpulkan bahwa DR. Ishmat menganggap semua yang dianggap sebagai sumber syariat Islam yang berasal dari manusia adalah dibuat-buat (maudhu’); berbagai kaedah yang ditetapkan manusia adalah dibuat-buat, istimbat adalah dibuat-buat, qiyas dibuat-buat, istihsan dibuat-buat, istishab dibuat-buat, ijma’ dibuat-buat… dst.

·       Hadits Bertentangan dengan Al-Qur`an

            Orang inkar Sunnah dengan segala kebodohan dan kesesatannya mengatakan bahwa banyak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur`an. Mereka benar-benar menutup mata (atau memang Allah telah membutakan mata mereka?) bahwa fakta yang sesungguhnya bukanlah pertentangan antara hadits dengan Al-Qur`an, melainkan Sunnah datang untuk menjelaskan sebagian isi Al-Qur`an yang masih samar, dan memerinci sebagian hukum dalam Al-Qur`an yang disebutkan secara global. Bahkan, ada pula Sunnah yang menasakh (menghapus) ayat Al-Qur`an.

Mereka pun menyodorkan sejumlah hadits yang mereka anggap bertentangan dengan Al-Qur`an.
·       Hadits Merupakan Saduran dari Umat Lain
Yang mengherankan, orang-orang inkar Sunnah ini pandai sekali dalam masalah ajaran-ajaran umat sebelum kita yang termaktub dalam Bibel. Mereka lebih menguasai Bibel daripada Sunnah! Dalam hal ini, mereka punya satu tujuan busuk yang nyata; membuktikan bahwa Sunnah Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadits adalah saduran dari umat lain. Atau katakanlah, saduran dari Bibel (Al Kitab).
Sejumlah contoh kasus yang sering mereka kemukakan, di antaranya yaitu:
  1. Kerudung Penutup Kepala
Mereka mengatakan, bahwa kerudung kepala bagi perempuan bukanlah ajaran Nabi karena tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Yang terdapat dalam Al-Qur`an adalah perintah untuk menutup dada, bukan menutup kepala. Sebab, kepercayaan menutup kepala ini adalah saduran dari kitab Bibel yang diambil oleh para ulama Islam masa lalu dan dikatakan sebagai hadits Nabi.
Ajaran memakai kerudung kepala ini terdapat dalam kitab Bibel, 1 Korintus, Bab 11:
[1 Kor 11:5] “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.”
[1 Kor 11:6] “Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahawa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.”
[1 Kor 11:10] “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.”
[1 Kor 11:13] “Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?”
Jadi, perintah untuk perempuan supaya mereka menutupi kepalanya adalah dari Bibel. Kepercayaan ini telah meresap ke dalam kepercayaan Islam dan sekarang menjadi perkara yang wajib diamalkan. Dan malangnya, orang-orang Kristen sendiri tidak mengikuti ajaran Bibel, kaum perempuannya tidak menutup kepala. Justru oran Islamlah yang mengamalkan ajaran Bibel tersebut!
 2. Khitan
Menurut orang-orang inkar Sunnah yang mengaku sebagai ahlul Qur`an atau Qur`aniyyun, ajaran khitan adalah saduran dari kepercayaan umat lain. Sebab, dalam Al-Qur`an sama sekali tidak ada perintah Allah untuk berkhitan. Akan tetapi, justru ajaran khitan ini terdapat dalam Bibel. Perjanjian Penyunatan di dalam Bibel menyatakan:
[Kej 17:14] “Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku.”
[Kej 17:24] “Abraham berumur sembilan puluh sembilan tahun ketika dikerat kulit khatannya.”
Menurut orang inkar Sunnah, dari Perjanjian Penyunatan inilah para ulama kaum muslimin saat itu mengadopsi kepercayaan khitan ini dan memasukkannya ke dalam ajaran Islam, untuk kemudian mengatakannya sebagai hadits Nabi. Padahal, Nabi sama sekali tidak mengajarkan masalah khitan dan tidak memerintahkannya. Sebab, dalam Al-Qur`an tidak ada ayat tentang khitan.
3. Memelihara Jenggot
Orang-orang inkar Sunnah mengatakan, bahwa memelihara janggut bagi laki-laki bukanlah ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur`an tidak pernah disinggung masalah. Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak pernah menyuruh kaum-kaum laki umat Islam untuk memelihara atau memanjangkan jenggot.
Ini bukanlah ajaran Al-Qur`an dan bukan pula ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dalam kitab Bibel disebutkan dengan jelas:
[Imamat 1:27] “Janganlah kamu mencukur tepi rambut kepalamu berkeliling dan janganlah engkau merusakkan tepi janggutmu.”
[Imamat 21:5] “Janganlah mereka menggundul sebagian kepalanya, dan janganlah mereka mencukur tepi janggutnya, dan janganlah mereka menggoresi kulit tubuhnya.”
[2 Samuel 10:5] “Hal ini diberitahukan kepada Daud, lalu disuruhnya orang menemui mereka, sebab orang-orang itu sangat dipermalukan. Raja berkata; Tinggallah di Yerikho sampai janggutmu itu tumbuh, kemudian datanglah kembali.”
4. Kata “Amin”
Orang-orang inkar Sunnah mengatakan bahwa kata “amin” yang selalu kita baca ketika shalat dan berdoa adalah saduran dari Bibel. Dalam Al-Qur`an sama sekali tidak ada kata “amin,” termasuk dalam surat Al-Fatihah, tidak ada kata amin di sana.

·       Hadits Membuat Umat Islam Terpecah-belah

Di antara alasan yang sering dilontarkan kenapa mereka menolak Sunnah Nabi adalah karena hadits dianggap membuat umat Islam terpecah belah. Banyaknya hadits yang berbeda satu sama lain, membuat kaum muslimin pecah menjadi sejumlah golongan. Ada Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, dan lain-lain. Belum lagi pecahnya Ahlu Sunnah dengan adanya berbagai madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dan Zhahiriyah. Itu pun belum termasuk aliran tasawuf dengan berbagai tarekatnya.
Tuduhan orang inkar Sunnah dalam masalah inilah yang membuat mereka selalu mendengung-dengungkan istilah, “Satu Kitab, Satu Tuhan, dan Satu Umat!”[1] Mereka mengatakan, bahwa dengan hanya berpegang teguh pada Al-Qur`an sajalah umat Islam bisa bersatu dan tidak berpecah belah.

·       Hadits Membuat Umat Islam Mundur dan Terbelakang

Menurut orang-orang inkar Sunnah, sesungguhnya hadits-hadits tentang mukjizat Nabi, takdir, adzab kubur, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, kisah-kisah yang bagaikan dongeng, cerita-cerita tentang akhir zaman, syafaat Nabi di akhirat, dan hal-hal ghaib lainnya, membuat kaum muslimin mundur dan terbelakang sehingga tidak bisa maju berkembang bersaing dengan umat-umat lain.
Diantara Argument Mereka Yang Membela Terhadap Sunnah yaitu :
Kelemahan argumen-argumen non-naqli ( aqli ) golongan ingkar sunnah dapat dimentahkan dengan bantahan-bantahan berikut:
  • Al Qur’an memang tertulis dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Arab yang digunakan oleh
Al Qur’an terdapat kata-kata yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus; ada yang status global dan ada yang berstatus rinci sehingga untuk mengetahui diperlukan petunjuk Al Qur’an dan hadits Nabi saw.

  • Dalam sejarah umat Islam memang pernah mengalami kemunduran, namun setelah itu mengalami kemajuan pesat pada zaman klasik. Puncak kemajuan terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Ulama besar yang hidup pada masa itu tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam dan lain-lain. Periode klasik berakhir ketika Bagdad jatuh ke tangan Hulagu Khan. Menuduh sunnah sebagai biang perpecahan adalah menunjukkan pendeknya akal mereka. Al Qur’an dan As Sunnah adalah pedoman hidup yang mengangkat umat manusia dari era keterpurukan jahiliyah menuju cahaya kejayaan. Adapun perkembangan politik, budaya, kekuasaan dan negara sudah pasti ada pasang surutnya.
  • Menganggap bahwa hadits Nabi saw tidak tercatat pada zaman beliau masih hidup adalah pernyataan orang yang tidak mengetahui sejarah perkembangan hadits Nabi saw.
Pada zaman nabi sunnah (hadits) memang belum dibukukan secara resmi. Penulisan sunnah pernah dilarang oleh Nabi saw, namun bagi mereka yang dinilai cermat dalam mencatat, sehingga terhindar pencampuradukkan catatan Al Qur’an dalam mencatat, dari yang bukan Al Qur’an, beliau telah mengizinkan mereka untuk mencatat sunnah. Bahkan untuk kepentingan tertentu, Nabi saw telah memberi tugas kepada sejumlah pembesar yang non-muslim dengan mengirim surat kepada mereka; juga tatkala Nabi saw membuat sejumlah piagam penting yang harus dipatuhi bersama oleh pihak-pihak yang terkait, serta tatkala ada orang Islam meminta kepada Nabi saw untuk dicatatkan pidato nabi yang telah diucapkan di hadapan umum.
  • Pernyataan pengingkar sunnah yang menyatakan bahwa hadits Nabi saw lahir setelah lama beliau wafat merupakan pernyataan yang tidak memiliki argumen dan mengada-ada.
Para ulama telah melakukan berbagai upaya pembelaan terhadap Sunnah, di antara upayanya adalah penciptaan berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan sunnah Salah satu kegiatan penting yang telah dilakukan oleh ulama pembela sunnah untuk memudahkan pelaksanaan kritik sanad dan matan sunnah sehubungan dengan masalah tersebut ialah menciptakan berbagi  istilah. Karena istilah yang begitu banyak seiring dengan banyaknya  sisi kemungkinan yang terjadi; maka lahirlah cabang pengetahuan sunnah yang khusus membahas istilah-istilah yang ada. Cabang pengetahuan itu lalu dikenal dengan sebutan Ilmu Musthalah al Hadist. Hanya dalam dunia pengetahuan sunnah atau hadits saja, dikenal adanya cabang pengetahuan yang khusus membahas berbagai istilah.
Orang yang berpaham ingkar sunnah berpijak pada pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al Qur’an, sejarah umat Islam, sejarah penghimpunan sunnah dan sebagai dari cabang penelitian kesahihan sunnah. Kesalahan pemahaman itu disebabkan oleh banyak faktor, sebagian  dari faktor itu ada yang berkaitan dengan kekurangan pengetahuan mereka terhadap berbagai hal tentang sumber ajaran Islam, Al Qur’an dan sunnah, dan sebagai faktor lagi berkaitan  anggapan dasar dalam metode berfikir.
Untuk mendalami pengetahuan yang berkaitan dengan sunnah, dituntut tersedianya sejumlah kitab, minimal kitab-kitab yang berkaitan dengan musthalah, kaidah, pengkajian matan, dan pengkajian sanad. Tanpa tersedianya fasilitas kita-kitab yang diperlukan, maka upaya mendalami pengetahuan sunnah akan mengalami kesulitan
Orang yang mengingkari kedudukan as sunnah sebagai salah satu sumber hukum setelah al Qur’an, seharusnya mereka tidak bisa shalat sebagaimana shalat yang diajarkan Nabi saw. Mereka tidak akan bisa menentukan kadar zakat, sebagaimana ditentukan oleh Nabi saw, mereka tidak akan bisa menjalankan manasik haji sebagaimana yang diajarkan Nabi saw, dsb. Sebab tata cara ibadah tersebut hanya terdapat di dalam as sunnah. Dan kemudian jika didapati mereka (golongan ingkar sunnah itu) melakukan semua itu seperti sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin, berarti mereka  tidak konsisten dengan keingkarannya.
Tragisnya, kasus demikian tetap muncul di era sekarang  dan sering membuat bingung hingga meresahkan masyarakat Islam. Para penyeru di antara merka bahkan dari kalangan tokoh intelektual. Pemikiran ingkar sunnah itu jika dicermati disebabkan oleh cara pandang atau pola pikir mereka sendiri. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Metodologi yang mereka gunakan itu janggal dan tak pernah dikenal apalagi diterapkan oleh ulama-ulama besar terdahulu, baik dari kalangan ulama hadits maupun ulama fiqh. Sehingga golongan ingkar sunnah itu terperangkap dalam kandangnya sendiri.
Menolak sunnah secara mutlak pada gilirannya akan menolak aksiomatika agama yang tak diketahui kecuali melalui sunnah. Menolak sebagian kecil sunnah, sesungguhnya juga termasuk sebagai perilaku ingkar sunnah. Karena penyebutan ingkar sunnah itu sebenarnya tidak berarti semata-mata penolakan terhadap sunnah, baik sebagian atau keseluruhan, baik yang disukai atau tidak. Namun sekali lagi, kerangka berpikir mereka terhadap sunnah itulah yang tidak dikenal dan tak diakui oleh para ulama. Mereka berpendapat tidak perlu mengakui adanya sunnah atau mengamalkannya karena Al Qur’an itu diturunkan sudah lengkap dan tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Mereka menganggap jika Al Qur’an masih membutuhkan yang lain, berarti belum lengkap.
Pemahaman mereka tentang kelengkapan Al Qur’an telah melupakan kaidah bahwa kelengkapannya terletak pada kesempurnaannya dalam mengatur persoalan pokok kehidupan manusia, bukan pada persoalan yang bersifat cabang dan ranting atau yang kecil-kecil dalam kehidupan. Al Qur’an mengatur problematika manusia pada wilayah ushul al hayat atau pokok kehidupan yang menjadi tumpuan hidup, bukan pada wilayah furu’ al masa’il atau persoalan-persoalan cabang, walaupun memang ada sebagian kecil yang mengatur cabang kehidupan. Kalau Kitab yang benar-benar lengkap memuat apa saja di alam ini, maka hanya terdapat di Lauh Mahfudz.
Al Qur’an memuat dasar-dasar atau hal-hal yang pokok agama dan kaidah-kaidah yang bersifat umum. Sebagian nashnya telah terang dan jelas maknanya bagi kita, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Nabi saw. Salah satu tugas Nabi saw adalah menjelaskan, merincikan ataupun mengaskan kepada manusia hukum-hukum yang terdapat dalam Al Qur’an tersebut. Hal ini memang perintah dari Allah swt yang tertera di dalam Al Qur’an.
Dan Kami telah menurunkan Al Qur’an kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan mudah-mudahan mereka memikirkannya“. (An Nahl: 44)
Maka dengan demikian, penjelasan Nabi saw tentang hukum-hukum atau nilai sebagaimana terdapat dalam sunnah adalah penjelasan Al Qur’an juga, semestinya hal ini masuk di akal mereka. Sehingga tidak ada alasan sama sekali untuk mengabaikan sunnah beliau. Sungguh mengherankan jika ada segolongan orang yang menolak sebagian dari sunnah Nabi saw. Istilah “menolak sebagian sunnah” itu membawa konsekuensi. Sebagian itu seberapa? Kalau sebagian ini ditolak, sebagian yang itu juga ditolak, maka akan menjadi sebagian besar. Dari sinilah akan terlihat bahwa yang salah itu kerangka berpikir mereka, yang berakibat tertolaknya sebagian ini dan sebagian itu dari sunnah Nabi saw.



Jawaban No 3
Hadist atau sunnah Rasulullah Saw. Merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alqur’an  tetapi kita menyadari bahwa samapi saat ini, tingkat pemahaman kita terhadap hadits atau sunnah masih sangat minim, tingkat pemahaman kita terhadap hadits atau sunnah masih sangat minim,
a.      Apa Sebabnya ?
b.      Bagaimana solusinya menurut Saudara ? Lanngkah – langkah apa yang di lakukan oileh umat islam sehingga dapat memahami hadits dengan baik dan maksimal.
Jawab :
a.      Apa Sebabnya , sebabnya pulang ke ummat ini sendiri, “ yaitu Kondisi Umat jauh dari Hadits (Sunnah ) dan Al – Qur’an , coba kalau kita mau mencermati secara jujur, jarak antara umat islam ( pada umunya ) dengan Al – Qur’an yang Agung, ini sebagai perbandingan , akan mendapat perbedaan yang jauh dan jurang pemisah yang tinngi, antara kondisi riel ummat saat ini terhadap Al-qur’an sebagai kitab petunjuk dan pedoman utama, “ bila di bandingkan dengan kondisi yang seharusnya di wujudkan, padahal Al-Qur’an sumber utama Ajaran islam apalagi dengan Hadist atau Sunnah Nabi.
Padahal hadits atau sunnah nabi  sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
            Sebagai contoh, mereka mengaibaikan cara-cara tartil dan tilawah,, bermalas – malas dalam menghafal dan membacanya, serta lalai dalam tadabbur dan pengamalan.
Padahal dalam memahawi ayat – ayat Al-Qur’an di butuhkan refernsi atau keterangan dari hadits – hadist nabi.
            Yang lebih mengherankan lagi, banyak di antara kaum muslimin yang senang menyia – nyiakan waktu sekedar untuk membolak – balik Koran dan majalah, menonton serial sinetron, mendengarkan musik dan nyanyian, serta menikmati hiburan – hiburan yang melalaikan. Sedangkan Kitabullah Ta’ala dan Kitab – Kitab Hadits nyaris tak mendapatkan perhatian dan waktu yang cukup untuk mengkajinya dan, “ minim dan bahkan tidak ada alokasi keuangan  biaya  , bahkan sama sekali tidak tertarik untuk melengkapi perpustakaan rumahnya dengan reperesi buku-buku hadits yang shahih, baik terjemahan, ringkasan hadits, bahkan barangkali hadits Arbain saja tidak punya,perpustakaan rumahnya, di atas meja ruang tamunya hanya  bertumpuk banyak majalah – majalah dan Koran yang sipatnya dunia saja. Dengan begini panggilan ayat – ayat Al-qur’an dan contoh – contoh segala aktipitas nabi, yang di sampaikan  lewat hadits pun tak menggugah hati mereka sama sekali. Lalu, Perkara apakah sebenarnya yag paling dekat dei hati mereka ? Padahal Rasulullah saw. Bersabda ; “ Seseorang itu akan bersama – sama dengan orang yang paling di cintainya.   
Andapun akan merasakan, ketika bacaan kita melewati ayat – ayat yang seharusnya bisa membuat orang menangis dan mampu meluluhkan hati, sehingga semakin khusyu’ dan juga kita akan merakan khusyu  nya kita shalat dengan iktiba pada sunnah nabi, sebagimana nabi bersabda “Shalat lah kalian sebagimana aku shalat  kalau kita banyak paham tentang bab shalat yang di sampaikan nabi lewat pemahan hadits – hadits belaiu terasa kita terbayang seakan – akan kita shalat bersama Rasullulah dengan melihat gerakan beliau. Itulah Sebab minim nya ummat Islam pada umunya  terhadap pemahan hadits – hadits nabi.
b.      Solusi dan langkah – Langkah yang dilakukan ummat Islam supaya memahami hadits dengan baik dan maksimal menurut saya  yaitu :

Ada  sebuah hadist nabi, “Sampaikan lah walau hanya satu ayat”, dan juga “Janganlah kamu melihat siapa yang menyapaikan , “tapi lihatlah apa yang di sampiakan walau dari mulut anjing ( maaf ). Karena kebenaran itu datangya dari Allah SWT.  Ini adalah pemicu setiap individu  ummat muslim,  pun ada juga hadits “ Kalau Allah Menghendaki  kebaikan Pada hamba ( seseoarang ) maka akan di pahamkan tentang Agama

Dari hadits bagian paling bawah yang saya pahami, secara umum ,  kita ummat islam harus bersukur sudah di kasih nikmat yang paling besar  berupa hidayah yaitu nikmat Iman dalam agama Islam, yag diridhoiNya. Ini berarti kita ummat islam di kehendaki  Allah kebaikan di banding umat – umat lain, maka dari itu di berilah hidayat iman untuk menjadi orang – orang yang beriman,”  Pun sebagai individu orang yang beriman  saya, dan umat islam yang dikehendaki paham ajaran Islam, dan  Allah meberikan Hudan ( petunjuk ) yaitu Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan Hadits Nabi sebagai Sumber hukum kedua baik yang sipatnya Hadits Qudsi ataupun Hadits Nabawiyah.  Untuk mencapai kehendak Allah supaya kita menjadi hamba yang di kehendakinya paham Agama tadi, kita harus kerja keras paham agama kita terutama terhadap Al- Qur’an dan Hadits Nabi karena kedua pedoman ini saling berkaitan,
Kita akan bingung untuk menapsirkan ayat- ayatnya kalau kita tidak paham hadits nabi, karena Rasulullah  saw. sendiri itu, setiap ucapan, gerak dan tingkah lakunya adalah Tafsir Al-Qur’an yang berjalan.   Dan kita harus pintar – pintar memilih dan memilah mana hadits lemah dan mana hadit shahih, ini semua lewat kerja  keras dan  keseriusan para individu, untuk mempelajari Al-Qur’an dan hadist, bukan sebaliknya  yang saya sampaikan di atas Sebab minimnya ummat memahami hadits, akibat dari lalai dan malas-malasan, dan tugas kita juga harus menyampaikan dengan amanah bukan kepentingan kelompok, organisasi dsb, tapi sampaikan lah walau pahit kedengarnya. Sebagaimana hadits nabi  “Barang Siapa Menyampaikan Hukum , kalau aku tidak terlibat di dalamnya maka tertolak “ dan barang siapa mengatakan itu dari  ini, dari itu, saya tidak terlibat di dalanya maka siap –siaplah orang tersebut di persiapkan istana di neraka.



Kemudian solosi selanjutnya kalau kita mau berpikir  Rasulullah dakwah itu, “ bisa di katakan pakai MLD ( Multi level dakwah ) artinya yang mendengar, kemudian menyampaikan yang belum dengar artinya ketika zaman nabi hadits di dicatat oleh sahabat , setelah sahabat zaman tabiin, setelah itu sampai kekita  maka dari itu kita juga wajib menyampaikan lewat keunikan kita bagaiman kita bisa menyampiakan MLD kita bisa share  , melalui keluarga kita,  pengajian, live on TV Chanel, Buat khusus Pembahasan Hadist yag di share lewat youtube, mebuat blog, wed dan lainya,  jadi semua orang mengerti dan lain- lainya .