Jawaban ‘
4). Paradigma
ijtihad hukum Islam yang bagaimana yang harus di kembangkan di masa kini
dan mendatang!
Dalam memenuhi Pola
Ijtihad yang Dibutuhkan pada Masa Kini,” yaitu kita harus mengetaui dimana ,” Sebagai manusia di karuniai rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya yang di berikan kepada kita semua yaitu berupa akal pikiran yang
sempurna (berbeda dengan mahluk allah SWT yang lainnya), dan seyogyanya kita
sebagai mahluk ciptaan allah yang berakal mengagungkannya dengan segala sesuatu
yang kita miliki, seperti memikirkan, mengangan-angan ciptaan Allah yang begitu
dahsyatnya menciptakan langit dan bumi seisinya serta galaksi-galaksi yang ada
di luar angkasa. Kemudian lebih mengerucut lagi pada permasalah hukum syari’at
yang di bebankan kepada kita semua untuk menjalankannya. Di dalam al-Qur’an
banyak sekali hukum yang berkaitan
dengan ciptaan Allah, tapi dengan penunjukan yang belum jelas, Itu semua di
tujukan pada manusia agar mereka berpikir tentang ayat-ayat Allah yang penuh
dengan ma’na dan rahasia tersendiri, oleh sebab itu di sini nanti kita akan
mempelajari tentang hukum-hukum islam modern melalui pemikiran manusia
seutuhnya untuk membuat suatu hukum yang baru(ijtihad).
Realita
pada zaman sekarang dengan globalisasi dan peradaban dunia yang semakin maju
memungkinkan sekali untuk suatu hukum syari’at islam berkembang, di samping itu
juga pemikiran manusia yang berkembang
dan memungkinkan manusia untuk membuat sesuatu yang baru, Dimana mereka
berpikir bahwa sesuatu yanng baru( pada
zaman rosululloh SAW tidak ada) pasti mempunyai hukum yang baru juga( dalam
al-Quran dan al-khadits belum ada),
Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan
masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi
dan lain-lainnya. Nabi saw. pernah mengatakan, bahwa setiap sertus tahun
(seabad) akan ada orang yang bertugas memperbaharui pemahaman keagamaan.Ummt
Islam telah mengalami perubahan sebanyak lima belas kali. Pada setiap abad
mestinya terdapat seorang mujtahid dan mujaddid. Orang itu harus
bisa menyelesaikan masalah pada zamannya. Hal ini berarti bahwa ijtihad para
ulama terdahulu mesti sesuai dengan waktu dan keadaan di mana mereka berada
namun belum tentu sesuai dengan keadaan umat Islam sekarang ini.
Bila
pada masa lampau seorang mujtahid ditambahkan keberadaannya oleh umat Islam,
maka sekarang keberadaannya sangat diharapkan. Al-Qardawi mengatakan: ada dua
penyebab utama mengapa syari’ah Islam tidak dapat diterapkan secara “kaffah”
pada masyarakat Islam, yaitu :
- Penyimpangan politik yang
dilakukan oleh pemerintah, ia memasukkan hukum wad’i (buatan
manusia) diberlakukan sebagai ganti hukum Allah swt.
- Berhentinya gerakan ijtihad,
sehingga yang muncul ke permukaan ialah taklid pada suatu mazhab tertentu
hukum Islam tidak mengalami perkembangan sama sekali, ia dituding tidak
dapat mengikuti perkembangan (baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan)
dan lain-lain. Tentu mujtahid yang diharapkan sekarang ini mampu
menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, terutama setelah adanya
perubahan masyarakat, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan teknologi.
Karena
itu, ijtihad pada masa sekarang ini jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan
masa-masa lampau. Berbagai persoalan kontemporer telah muncul ke permukaan dan
menuntut kita menyelesaikannya. Persoalan-persoalan tersebut meliputi berbagai
bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai pada
masalah-masalah rekayasa genetika dalam bidang kedokteran. Dalam bidang
ekonomi, kita menjumpai beberapa kegiatan atau lembaga yang dahulu tidak ada.
Lembaga perbankan dengan segala kaitannya. Lembaga asuransi dengan segala
macamnya, merupakan masalah yang harus dilihat hukumnya dalam Islam.
Dalam
bidang kedokteran dan rekayasa genetika manusia kita menjumpai
tindakan-tindakan medis yang sangat menakjubkan. Pencangkokan jaringan atau
organ manusia, bayi tabung dan lain-lainnya perlu juga mendapatkan janaba hukum
agar hukum Islam nampak dinamis seperti masa-masa dahulu.
Berdasarkan
dengan keadaan seperti di atas, maka ijtihad pada masa sekarang ini dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjih
dan ijtihad insya’i atau ijtihad ittida’i.
1.
Ijtihad Intiqa’i atau Ijtihad Tarjihi
Yang
dimaksud dengan ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjih adalah
ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat
para ahli hukum terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana
tertulis dalam berbagai kitab hukum Islam, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat
dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi masyarakat. Kemungkinan besar
pendapat para ahli hukum Islam terdahulu mengenai masalah yang sedang
dipecahkan itu berbeda-beda. Dalam hal ini mujtahid muntaqi bertugas
untuk mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil dan argumen-argumen dari
setiap pendapat itu, kemudian memberikan preferensinya terhadap pendapat yang
dianggap kuat dan dapat diterima. Agaknya, mujtahid dalam tipe kini
hampir sama dengan ahlu al-tarjih dalam klasifikasi mujtahid yang
dikemukakan oleh ushul Fikih pada umumnya. Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli
al-tarjihi pada masa kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan
kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam.
Pada
masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan
yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli hukum Islam di
lingkungan mazhab tertentu. Artinya ruang lingkup tarjih hanya berlaku
dikalangan interen mazhab tertentu, seperti Syafi’iyyah, Malikiyyah,
dan lain-lain. Sedangkan tarjih pada masa kebangkitan kembali hukum
Islam ruang lingkupnya jauh lebih luas dari tarjih sebelumnya. Tarjih pada
periode ini berarti menyeleksi berbagai pendapat dari mazhab apapun ia berasal,
kemudian diambil pendapat yang rajih, yang paling kuat, berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan. Pendapat ahli hukum terdahulu dinyatakan rajih
apabila pendapat itu didasari oleh dalil yang kuat, cocok dengan zaman
sekarang, dan sesuai dengan tujuan disyari’atkannya hukum Islam.
Dalam
hubungan ini mempelajari hukum Islam secara komparatif dan filsafat hukum Islam
menjadi penting. Dalam rangka melakukan ijtihad initiqa’i ini seyogyanya
kita tidak membatasi diri pada mazhab yang empat saja. Melainkan harus
menjangkau berbagai mazhab lain. Sekalipun itu bukan aliran sunni. Namun
demikian Al-Qardawi mengingatkan agar dalam mengadopsi salah satu pendapat
hendaknya tidak dilakukan dengan cara serampangan, tidak dengan diteliti sebab
hal semacam itu berujung pada taklid buta. Yang perlu diteliti dan diperhatikan
bukan siapa yang mengatakannya, tetapi bagaimana dalil dan cara berpikir yang
digunakan, bagaimana relevansinya dengan masa sekarang, dan bagaimana pula
hubungan dengan maqaisid al-Syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam).
2.
Ijtihad insya’i
Pola
ijtihad yang kedua yang dibutuhkan pada masa sekarang adalah ijtihad insya’i.
ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum
mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli hukum
terdahulu. Menurut Al-Qardawi kegiatan ijtihad insya’i mutlak harus
kembali diaktifkan guna mencari solusi-solusi baru terhadap permasalahan yang
baru muncul serta demi pengembangan hukum Islam, sebab setiap masa memiliki
problem yang berbeda, demikian pula halnya dengan masa sekarang, problemnya tidak
serupa dengan masa dahulu. Kriterianya sangat keras dialamatkan kepada sebagian
ulama yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Al-Qardawi
mengingatkan munculnya dua bidang muamalah yang menuntut jawaban-jawaban baru
khususnya ditinjau dari segi hukum dalam pelaksanaannya, kedua bidang muamalah
itu, ialah :
Pertama
: Bidang ekonomi atau keuangan,
dalam bidang ini muncul sederetan bentuk-bentuk transaksi yang sifatnya tidak
pernah dijumpai pada masa dahulu seperti : Asuransi dengan berbagai bentuk dan
ragamnya, perbankan dengan segala macam bentuk transaksinya. Semua itu menunggu
jawaban hukum secara pasti dan cepat.
Kedua
: Bidang ilmu pengetahuan atau
kedokteran. Dalam bidang ini juga ditemukan berbagai cara kegiatan yang
memerlukan kejelasan hukum. Sebagai sebagai contoh dapat dikemukakan kasus
pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia. Dalam kasus ini maka muncullah
beberapa pertanyaan.
- Apakah dibolehkan dalam Islam
pencangkokan organ tubuh binatang dalam diri/tubuh manusia dengan alasan
demi menyelamatkan jiwa orang tersebut meskipun binatang itu adalah babi ?
- Apakah seorang muslim berhak
memberikanb izin untuk dipergunakan salah satu anggota tubuhnya demi
kepentingan anaknya atau kedua orang tuanya ?
- Bolehkah seorang muslim
memberikan jazadnya (mayatnya) untuk diadopsi dalam rangka kajian-kajian
kedokteran?
Jadi Ijtihad dalam Islam berfungsi sebagai
dinamisator didalam sistem hukum Islam. Ijtihad merupakan sarana yang paling
ampuh untuk menerapkan hukum Islam di segala bidang. Oleh karena itu, apabila
ijtihad tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka akan terasa suatu kelakuan
dalam sistem hukum Islam. Sebab, perjalanan hidup dan kehidupan manusia
senantiasa berkembang seperti kemajuan ilmu dan teknologi yang dengan
sendirinya membutuhkan jawaban-jawaban yuridis demi memperoleh kepastian hukum
terhadap seluruh aspek kegiatannya sehingga Islam tetap tampil sebagai rahmatan
lil alamin.