Jawaban ‘
1). Bagaimana
Pandangan fiqh kontemporer dan tradisional tentang konsepsi qath’i dan dzanni?
Masalah fiqh kontemporer
adalah suatu bidang kajian yang
membicarakan perihal persoalan – persoalan
hokum islam ijtihadiyah yang
secara nyata muncul pada dewasa
ini dengan menerapkan metode
istimba t hokum dan analisa ilmiyah serta
pendekatan yang tepat dan
berorentasi pada pemenuhan kebutuhan
kemaslahatan manusia dunia –
aherat , “ Seiring dengan perkembangan zaman persoalan – persoalan fiqh juga berkembang dan tentu memerlukan jawaban untuk
kepentingan kini dan yang akan dating.Telah banyak produk – produk
pemikiran cerdas dalam bidang fiqh yang difprmulasikan para fukaha, namun perlu
di evaluasi secara berkelanjutan agar tidak kehilangan relevansinya , ingat
tujuan dari hokum islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia
danm aherat. Adapun pandangan fiqh kontemporer dan traditional tentang konsepsi
qath’i dan dzanni yaitu;
Dimana
ushul fiqh telah digunakan dalam merespons peristiwa-peristiwa fiqhiyyah
baru yang terus bermunculan. Namun demikian, penggunaan tersebut masih perlu
dimaksimalkan sehingga ushul fiqh sebagai metode istinbanth benar-benar
berfungsi sebagaimana mestinya. Sebab pada kenyataannya ushul fiqh belum
didayagunakan secara sungguh-sungguh sebagai perangkat produksi fiqh. Eksesnya,
fiqh yang berkembang selama ini masih fiqh dengan perwajahan lama, yakni fiqh
yang lahir dan hidup pada abad pertengahan. Sampai saat ini belum lahir fiqh
kontemporer yang berbicara, misalnya, dunia internet, perbankan, transaksi
bursa saham, korporasi bisnis antar negara, seluk beluk negara demokrasi dan
seterusnya.
Fenomena fiqh, boleh diakatakan sangat kontras dengan dunia iptek. Ketika penemuan demi penemuan teknologi baru terus bergulir cepat, fiqh bergerak amat perlahan, bahkan terkesan mandek dan stagnan. Kecanggihan hidup dalam dimensi teknik tidak diimbangi dengan kecanggihan fiqh. Seolah mengikuti logika hadits “khair al-qurun qarni tsumma al-ladzina yalunahum” (Sebaik-baiknya kurun adalah kurun saya sekarang kemudian disusul kurun-kurun berikutnya). Fiqh seolah hendak berkata, “masa tebaikku adalah masa a’immah al-madzhab atau imam-imam mdzhab, selanjutnya tidak ada lagi gerak maju”. Kalau pembacaan dengan cara ini dilanjutkan, fiqh boleh jadi tidak punya masa depan. Kitab-kitab kuning warisan ulama’ tempo dulu tidak lebih dari sekedar onggokan benda mati yang tidak relevan dengan tuntuan perubahan zaman.
Fenomena fiqh, boleh diakatakan sangat kontras dengan dunia iptek. Ketika penemuan demi penemuan teknologi baru terus bergulir cepat, fiqh bergerak amat perlahan, bahkan terkesan mandek dan stagnan. Kecanggihan hidup dalam dimensi teknik tidak diimbangi dengan kecanggihan fiqh. Seolah mengikuti logika hadits “khair al-qurun qarni tsumma al-ladzina yalunahum” (Sebaik-baiknya kurun adalah kurun saya sekarang kemudian disusul kurun-kurun berikutnya). Fiqh seolah hendak berkata, “masa tebaikku adalah masa a’immah al-madzhab atau imam-imam mdzhab, selanjutnya tidak ada lagi gerak maju”. Kalau pembacaan dengan cara ini dilanjutkan, fiqh boleh jadi tidak punya masa depan. Kitab-kitab kuning warisan ulama’ tempo dulu tidak lebih dari sekedar onggokan benda mati yang tidak relevan dengan tuntuan perubahan zaman.
Padahal kalau kita melihat akar sejarahnya, fiqh
lahir dari dialog antara kehendak Tuhan dengan tuntutan realitas. Dus, watak
dasar fiqh sesungguhnya bisa diwakilakan pada kata ‘dinamis’. Dinamika fiqh
akan segera terbukti oleh betapa kayanya literatur yang memuatnya, yang
sekarang kita sebut kitab kuning itu. Fiqh yang pada masa Rasul masih taman
kanak-kanak, berkembang pesat dalam kurun tiga abad berikutnya. Sampai di abad
ketiga hijriyah, ”pohon” pemikiran fiqh telah kokoh akarnya, kuat batangnya dan
bahkan cabangnya menjulur kemana-mana. Kelahiran kitab induk masing-masing
madzhab fiqh, segera disusul oleh kitab-kitab turunannya. Tradisi menyusun
kitab matan, syarah, hasyiah, pasca keterbangunan madzhab-madzhab berkembang
sangat pesat. Lapis demi lapis akitivitas berijtihad dan menulis kitab yang
dipicu oleh pembuktian watak dinamis fiqh itulah yang kini kita warisi
hasilnya. Itulah dia, kitab kuning.
Pertanyaan yang kemudian cukup menggoda adalah: mengapa pada awal-awalnya fiqh hidup dalam dinamika tinggi, sementara kini fiqh menjadi rigid dan nelangsa? Jawaban yang bisa disodorkan adalah: ushul fiqh sebagai metodologinya telah kehilangan peran. Ushul fiqh tidak diperlakukan sebagaimana mestinya secara proporsional. Ushul fiqh tidak sungguh-sungguh didalami untuk didayagunakan buat memproduksi fiqh baru yang lebih relevan dengan perubahan. Lantas, bagaimana mestinya Ushul fiqh diletakkan dan diberlakukan? Bagaimana kitab-kitab kuning bisa dibaca melalui ushul fiqh? Apa peran ushul fiqh untuk menjadikan fiqh kembali hidup sehat? Sebelum kita sampai pada jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya kita telusuri bagaimana cara kerja ushul fiqh memproduksi fiqh.
Pertanyaan yang kemudian cukup menggoda adalah: mengapa pada awal-awalnya fiqh hidup dalam dinamika tinggi, sementara kini fiqh menjadi rigid dan nelangsa? Jawaban yang bisa disodorkan adalah: ushul fiqh sebagai metodologinya telah kehilangan peran. Ushul fiqh tidak diperlakukan sebagaimana mestinya secara proporsional. Ushul fiqh tidak sungguh-sungguh didalami untuk didayagunakan buat memproduksi fiqh baru yang lebih relevan dengan perubahan. Lantas, bagaimana mestinya Ushul fiqh diletakkan dan diberlakukan? Bagaimana kitab-kitab kuning bisa dibaca melalui ushul fiqh? Apa peran ushul fiqh untuk menjadikan fiqh kembali hidup sehat? Sebelum kita sampai pada jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya kita telusuri bagaimana cara kerja ushul fiqh memproduksi fiqh.
Secara kategorial, hukum islam terbagi menjadi qath’i
dan dzanni. Hukum Islam yang qath’i diyakininya sebagai hukum
Allah swt. Sementara yang dzanni berarti hukum syar’i yang
diduga keras sebagai hukum Allah. Kategori qath’i-dzanni ini
ditentukan oleh dalil. Hukum qath’i dilahirkan dari dalil nash
juz’i, yaitu nash yang langsung menukik ke masalah tertentu.
Sementara hukum zhanni, di-istinbathkan dari dalil-dalil atau nash
kulli, dalil-dalil cabang (qiyas, mashlahah mursalah, istihsan
dan lain-lain) atau al-qawa’id as-Syari’ah yang diperas dari nash kulli
Hukum-hukum dzanni inilah yang lantas
membentuk fiqh. Sebagai akibat langsungnnya, produksi fiqh mesti melibatkan
akal (ijtihad). Ijtihad hanya mungkin dilakukan dengan dua syarat utama, yaitu:
pertama, penguasaan an-nushuh as-syari’ah dengan segala perangkatnya
dan kedua, pemahaman yang mendalam terhadap maqashid as-syari’ah. Soal
mana yang lebih menonjol dari dua perangkat ijtihad ini amat ditentukan oleh
obyek ijtihad. Untuk ijtiihad yang menyangkut istinbath min an-nushuh
aksentuasinya pada syarat pertama. Sementara, ijtihad yang menyangkut ma’ani
(mashlalah dan mafsadah), syarat kedua lebih menonjol
perannya.
Namun demikian, ada juga ijtihad yang tidak memerlukan kedua syarat tadi, yaitu ijtihad yang menyangkut tahqiq al-manath. Misalnya:
Namun demikian, ada juga ijtihad yang tidak memerlukan kedua syarat tadi, yaitu ijtihad yang menyangkut tahqiq al-manath. Misalnya:
1) melalui takhrij al-manath. Kita tahu bahwa ‘illat dari
hukuman potong tangan adalah sariqah (pencurian). Selanjutnya, perlu
di-ijtihadi apakah illat tersebut ada pada pencopet atau tidak.
2) Dalam syahadah (kesaksian), manath al-ilzam ialah ‘adalah
al-syahid (kedilan seorang saksi). Apakah saksi A adil atau tidak
ditentukan dengan tahqiq al-manath. 3) Manath al-hukm pada nafaqah
al-qarib adalah al-kifayah (kecukupan). Soal menentukan apakah
satu kilogram sudah merupakan kadar al-kifayah atau tidak, masuk dalam
kategori ijtihad tahqiq al-manath.
Bermula dari dua syarat ijtihad tadi, ushul fiqh memfokuskan perhatiannya
pada dua tema besar, yaitu:
1) fahm nushus asy-syari’ah (memahami
teks-teks syar’i) yang kemudian menurunkan ilmu al-qawa’id al-ushuliyah
al-lughawiyah,
2) fahm maqashid as-syari’ah yang kemudian
memunculkan ilmu al-qawa’id al-ushuliyah at-tasyri’iyah. Dua tema
inilah yang menjadi sentral bahasan dalam ushul al-fqh. Dus, menguasasi ushul
fiqh berarti menguasai kedua perangkat ini.
Dari bahasan tsb. tampak bahwa ushul fiqh menjadi driving force bagi corak dan bentuk fiqh. Dua wilayah produksi fiqh, yaitu nushush dan maqashid, tidak bisa eksis tanpa melibatkan ushul fiqh. Dan melibatkan ushul fiqh bermakna melibatkan akal secara intensif. Explorasi akal terjadi pada dua level sekaligus, yaitu level memahami mahkum fih (ijtihad tahqiq al-manath) dan level menemukan, menggali dan mendapatkan buah dari adillah al-ahkam. Seungguh menggairahkan. Kerja memproduksi fiqh dengan demikian adalah kerja yang menantang dan penuh dinamika.
Apa yang penting untuk dimunculkan kemudian adalah upaya serius untuk
kembali memperlakukan ushul fiqh sebagaimana mestinya secara proporsional.
Target terdekat yang diharapkan adalah menghidupkan kembali kitab kuning yang
bunyi tekstualnya tidak lagi relevan dengan realitas. Kitab kuning mesti dibaca
melalui ushul fiqh. Sehingga, yang menjadi fokus perhatian bukan terutama pada
apa bunyi harfiahnya teks, tetapi lebih pada nalar macam apa yang
mampu melahirkan teks tersebut. Muammad Khudari Bik mensinyalir bahwa pelajar
fiqh belakangan ini telah kehilangan malakah fiqhiyyah-nya sehingga
yang dilakukan mereka adalah sekadar menghafal. Berteman dan lantas tunduk
terhadap bunyi tektual kitab-kitab warisan ulama dulu. Sementara, bagaimana
para ulama itu bekerja, bagaimana mereka bernalar, situasi macam apa yang turut
mempengaruhi hasil ijtihad mereka, gagal direngkuh. Akibatnya, fiqh menjadi
tidak berkembang pesat sebagaimana pesatnya perubahan realitas. Ini tidak lebih
kaena watak dinamis fiqh telah “dibunuh” justru oleh komunitasnya sendiri.
Pekerjaan rumah yang mesti kita lakukan adalah bagaimana melakukan
pertemanan kritis dengan kitab kuning. Boleh jadi apa yang tertuang dalam
kitab-kitab itu tetap relevan dengan realitas masa kini sehinga bisa kita
pakai. Tetapi boleh jadi juga, ia tidak lagi relevan. Ukurannya adalah seberapa
kuat dalilnya dan seberapa maksimal pelayanannya terhadap tuntunan realitas (maslahah).
Di sinilah sesungguhnya wilayah yang menjadi tempat bermainnya ushul fiqh.
Jawaban ‘
2) .
Bagaimana relasi ideal hubungan
agama dan Negara?
Di
negara Indonesia, agama menduduki posisi sentral dan terhormat. Begitu
terhormatnya, sehingga tidak tersentuh bahkan tidak boleh jadi pembicaraan.
Sering terdengar dari lisan para petinggi negeri ini, termasuk para pengamat
yang menyatakan:
“Jangan bawa-bawa agama dalam
urusan negara. Agama bersifat individual, sedangkan urusan publik adalah urusan
negara. Negara indonesia bukanlah negara agama, karena itu agama cukuplah
menjadi urusan departemen agama saja.”
Sampai disini, nampaknya sebagian
besar umat beragama menerima dengan sukarela, tanpa protes. Umat beragama
dibungkam dengan pancasila yang dianggap
sebagai konsep final dalam mewujudkan sebuah negara yang bersatu, adil dan
makmur. Sekalipun selama 62 tahun Indonesia merdeka, pancasila terbukti gagal
menjadikan Indonesia sebagai sokoguru sebuah negara ideal yang berketuhanan dan
berprikemanusiaan yang adil dan beradab.
Benarkah
pancasila adalah dasar Negara RI? Pertanyaan ini patut dijelaskan secara
konstitusional disebabkan adanya inkonsistensi. TAP MPR XVIII Tahun 1998
mencabut P4 dan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Sebelumnya TAP MPRS
XXV/1966 mencantumkan pancasila sebagai dasar Negara. Tetapi menurut UUD 1945
ps 29 ayat 1 menyatakan: Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, bukan berdasarkan pancasila. Artinya, TAP MPR atau UUD ’45, menunjukkan
hubungan agama di negara RI mestinya harmonis, karena dasar Negara yang juga
menjadi sila pertama pancasila. Bukan dijadikan sebagai ikon konflik SARA
seperti sekarang.
Apa definisi negara pancasila?
Hingga sekarang belum ada penjelasan konstitusional, karena itu sering
disalahgunakan. Mantan Presiden Suharto mewariskan kesalahan besar ketika dia
menyatakan: Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama
dan bukan pula negara sekuler.
Implementasi pancasila, sejak awal
sudah bermasalah. Rezim orla Sukarno menerapkan pancasila berbasis sinkretisme
ideologi, yang dikenal dengan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Sedang
rezim Suharto mengamalkan pancasila berbasis budaya yang memunculkan ideologi
asas tunggal pancasila. Di zaman reformasi, pancasila membonceng liberalisme
berdasarkan 4 pilar kebangsaan (Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Pancasila, dan UUD
’45).
Jika
kita berpegang pada UUD ’45, maka negara RI sesungguhnya berdasarkan agama.
Sebab istilah Ketuhanan YME adalah konsep agama, bukan konsep sekularisme,
demokrasi, ataupun liberalisme. Ketiga isme ini tidak bicara soal Tuhan,
sekiranya membicarakan konsep ketuhanan juga mereka tidak bisa. Sebab siapapun
yang berkeyakinan adanya Tuhan YME harus memiliki kitab suci untuk mengenalkan
siapa Tuhan itu, agar tidak salah dalam mengenal Tuhan. Di zaman jahiliyah batu
dianggap tuhan, sapi, kerbau dijadikan tuhan. Ada juga yang menjadikan jin
sebagai tuhan yang disembah. Selain itu, harus juga memiliki nabi yang mengajarkan
bagaimana cara menyembah Tuhan yang benar, agar tidak membuat-buat cara
penyembahan menurut selera hawa nafsu si penyembah.
Dalam
hal ini, pancasila benar-benar gagal membangun masyarakat yang berketuhanan.
Sebab masih banyak rakyat Indonesia yang menyembah gunung, seperti gunung bromo
di Jatim; menyembah sapi seperti kyai Slamet di Solo, atau menyembah jin
seperti Nyai Rorokidul di Yogyakarta. Lalu siapa tuhan sekularisme, demokrasi
dan liberalisme? Siapa nabi dan apa kitab sucinya?
Negara RI yang berdasarkan Ketuhanan
YME ini, sesungguhnya berdasarkan agama, karena itu segala bentuk aturan dan UU
tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama, seperti penjelasan Prof.
Hazairin, SH berkaitan dengan ps 29 ayat 2 UUD ’45. Terjadinya tindak kejahatan,
berupa korupsi, merajalelanya dekadensi moral di kalangan pejabat dan generasi
muda, juga narkoba. Termasuk aksi kekerasan komunal dan sosial, disebabkan
penyimpangan implementasi dasar Negara. Maka yang bertanggungjawab atas
penyimpangan ini tentu saja penyelenggara Negara, khususnya sekularisme,
liberalisme dapat demokrasi.
Selama
ini kaum sekuler senantiasa berusaha memerangi agama sebagai tatanan hidup
rakyat Indonesia, padahal mereka selalu mengusung slogan bebas berbuat apa
saja? Ketika berbagai kerusakan sistemik menimpa negeri ini, kaum sekuler
membebankan kesalahan pada umat beragama. Sementara, ketika kaum beragama ingin
berbuat bebas sesuai agamanya dihalangi. Contoh, apa yang disebut Perda
bernuansa syariah ingin dihapus, padahal hasil musyawarah DPRD. Bukankah kaum
demokrasi berkoar hendak menjunjung tinggi kemerdekaan individu untuk berbuat
sesuai keinginannya? Orang berpoligami dicacimaki, sementara perselingkuhan,
lesbian, homo dan kemungkaran lainnya dibiarkan. Logika apa yang dipakai kaum sekuler
ini?
Apakah
ideologi sekuler itu sama dan sebangun dengan ideologi semau gue atau
machiavelis, jika berkuasa maka dia yang berhak mengatur orang yang
dikuasainya. Apakah sistim hidup semacam ini dapat menjamin kesejahteraan
manusia yang menjadi dambaan manusia berakal. Bukankah sistim semau gue
ini menciptakan peluang untuk berperang terus menerus antara kelompok manusia
yang saling bertentangan kepentingannya sehingga rakyat kebanyakan menjadi
korban nafsu elit sebagaimana sistim kapitalisme, komunisme, nasionalisme atau
yang lain yang bersumber dari ideologi sekular?
Kaum
sekuler, liberalis dan nasionalis yang selalu menolak tatanan berbasis agama
harus berani menjelaskan alasannya secara ilmiah ke hadapan publik, agar
argumentasinya dapat diuji secara logika dan ilmiah. Dan yang lebih serius,
umat Islam juga harus berani berterus terang, mau apa di negeri ini. Apakah
terus menerus menjadi rakyat pinggiran, bersabar menerima perlakuan kaum
sekuler yang menista dan menjauhkan agama dari kehidupan berbangsa dan
bernegara?
Jawaban
‘
3).
Bagaimana pandangan saudara/i tentang pemberlakuan syariat Islam di Indonesia
Bangsa indonesia adalah mayoritas beragama islam, dan tidak di ragukan
kan lagi bangsa yang penduduknya beragama islam terbanyak di dunia , ini sudah
di akui oleh bangsa – bangsa di dunia
ini, Cuma permasalahanya bangsa kita yang mayoritas islam dan terbesar di dunia
ini, realitasnya tidak berkonsesten dalam agamanya, karena apa ? “Coba kalau
kita ingat makna hadits nabi “ Suatu hari nanti di jaman ahir umat islam itu
lemah tidak punya kekuatan” sahabat bertanya kenapa yaa rasul, “Apa di karenakan sedikit jumblahnya pada saat itu,
jawab nabi tidak, bahkan jumlahnya banyak, namun seperti buih di tengah lautan
kalau di terpa badai, mereka sudah tidak juhud dalam sariatnya dikarenakan ubud
dunia dan takut mati” jadi menurut saya sariat islam di terapkan di Indonesia
sulit sekali di karenakan masarakatnya belum siap dan kurangnnya umat memahami
agamanya, makanya ketika syariat ini mau di
terapkan, yang berdemo kebanyakan dari kalangan umat islam itu sendiri,
ada apa gerangan, apa tuntutan yang berkepentingan terhadap keuntungan dunia?
Saya kurang tau, tapi kalau kembali makna hadits nabi tsb di atas spertinya
tidak berselisih, dan praktek nya penerapan
syariat islam pun mengalami ,” Kontroversi “ dimana penerapan perda syariat
islam mendapat berbagai kontoversi dimana – mana dengan alas an beraneka ragam menurut persi mereka.
Makanya dalam penerapan
Syariat Islam harus melihat kearipan local suatu daerah tersebut karena, “ Bangsa indonesia adalah bangsa yang majemuk yang terdiri dari
berbagai macametnis dan golongan. Dengan kondisi yang seperti itu bangsa
indonesia tentunya memerlukan cara yang khusus untuk mengatur warganya. Dan
karena labar belakang sejarah bangsa indonesia yang merupakan bangsa yang
sangat besar maka aturan itu haruslah mencakup seluruh aspek masyarakat, dan
bukan hanya golongan tertentu saja. Belakangan ini muncul beberapa daerah yang
ingin menerapkan syariat islam di wilayahnya. Hal ini tidak aneh mengingat
wilayah itu mempunyai hak otonomi daerah. Dan pemberrlakuan perda itu merupakan
kebijakan yang dianggap paling baik oleh jajaran pemerintahan di wilayah
tertentu. Dan beberapa memang terbukti bahwa perda syariat ini mempunyai dampak
yang positif bagi masyarakat, yaitu angka kriminalitas menurun.
Secara
legal-formal pemberlakuan syariah Islam di era otonomi daerah ditetapkan
terutama lewat peraturan daerah (perda) yang memiliki kekuatan hukum atau
politis. Meski Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang otonomi daerah tidak memberi
wewenang bidang peradilan dan agama kepada daerah, tetapi dalam praktiknya,
perda-perda itu menyentuh persoalan agama dan quasi-peradilan. Karenanya,
keberadaan perda-perda syariah itu perlu terus dikaji untuk menguji, apakah
peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan undang-undang dan
Konstitusi atau tidak.karena perda
syariah tidak jarang menimbulkan kontroversi serta memicu perdebatan dalam
masyarakat, walaupun kelompok yang mendukung keberadaan perda lebih besar
daripada kelompok yang menolaknya. Memang
setelah penerapan perda syariat itu ada banyak tentangan dari beberapa pihak
yang meminta aturan itu untuk dievaluasi lebih lanjut dampak dan manfaatnya.
Pada bulan juni 2006 ada sekitar 56 anggota DPR mengeluarkan petisi keberatan
terhadap sejumlah peraturan daerah bernuansa syariat Islam di beberapa daerah.
Sebagian mengajukan evaluasi ulang untuk perda tersebut dan yang lainnya
berpendapat bahwa perda itu dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi
negara yaitu Pancasila.
Ada
beberapa daerah yang sudah menerapkan perda syariat islam. Perda bernuansa
syariat Islam salah satunya diberlakukan Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 451/2712/ASDA.I/2001, lahirlah
Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Salah
satu wujud pemberlakuan SK tersebut, aparatur Gerbang Marhamah dibantu
masyarakat merazia pemakaian jilbab.Selain Cianjur, terhitung ada 22 daerah
yang menerapkan perda bernuansa syariat Islam. Di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan misalnya, diberlakukan Perda Minuman Keras serta zakat, infak, dan
sedekah. Demikian pula di Kota Madya Tangerang, Banten yang dipayungi Perda
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran.
Menurut
T.Yulianto penerapan perda syariat islam ini memunculkan dua pendapat, yang
setuju dan yang tidak setuju. Ada kalangan yang setuju, terutama dari kelompok
Islam politik (elite politik), menganggap adanya perda tersebut bisa menjadi
media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti
kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil.
Mereka memiliki argumentasi bahwa keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Djakarta membutuhkan perjuangan yang lama.
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakukan perda syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut.Memang ada sisi positif yang berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Di Kabupaten Bulukumba, penerapan perda bernuansa syariat Islam terbukti mampu menurunkan angka kriminalitas. Kasus pencurian misalnya, dari berjumlah 78 kasus, kini menurun drastis hingga nol. Demikian pula perkosaan yang sebelumnya 41 kasus menjadi nol.
Tetapi apakah itu tujuan yang sebenarnya dari penyelenggaraan pemerintahan. Bukankah pemerintahan bertujuan untuk mensejahterakan penduduknya, dan bukan hanya meminimalisir dampak dari tidak sejahteranya masyarakat. Karena masalah kriminalitas dimasyarakat merupakan hal yang sangat komplek, dan seringkali karena keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat baik.
Memang menurut T .Yulianto, yang merupakan Direktur Eksekutif LSPMB, ada realitas sosial di balik pemberlakukan perda syariat Islam diberbagai daerah. Ternyata perda syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Mengapa demikian, karena perda tersebut cenderung "menghukum" para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Ia tidak punya "taring" menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum maling-penjudi-penzinah kelas teri.
Perda syariat Islam juga memiliki dimensi "pembalikan" terhadap nilai moralitas yang hakiki, karena menyerahkan kebenaran moral kepada para pemegang tafsir kebenaran agama yang dimiliki oleh para ulama yang dekat dengan kekuasaan. Dalam realitas politik, tokoh-tokoh Islam pendukung perda syariat Islam seperti Dien Syamsyudin, Syukri Fadholi, misalnya, di masa Orde Baru mereka menjadi bagian dari relasi politik "mutualistik" Soeharto dengan ulama.
Mereka memiliki argumentasi bahwa keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Djakarta membutuhkan perjuangan yang lama.
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakukan perda syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut.Memang ada sisi positif yang berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Di Kabupaten Bulukumba, penerapan perda bernuansa syariat Islam terbukti mampu menurunkan angka kriminalitas. Kasus pencurian misalnya, dari berjumlah 78 kasus, kini menurun drastis hingga nol. Demikian pula perkosaan yang sebelumnya 41 kasus menjadi nol.
Tetapi apakah itu tujuan yang sebenarnya dari penyelenggaraan pemerintahan. Bukankah pemerintahan bertujuan untuk mensejahterakan penduduknya, dan bukan hanya meminimalisir dampak dari tidak sejahteranya masyarakat. Karena masalah kriminalitas dimasyarakat merupakan hal yang sangat komplek, dan seringkali karena keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat baik.
Memang menurut T .Yulianto, yang merupakan Direktur Eksekutif LSPMB, ada realitas sosial di balik pemberlakukan perda syariat Islam diberbagai daerah. Ternyata perda syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Mengapa demikian, karena perda tersebut cenderung "menghukum" para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Ia tidak punya "taring" menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum maling-penjudi-penzinah kelas teri.
Perda syariat Islam juga memiliki dimensi "pembalikan" terhadap nilai moralitas yang hakiki, karena menyerahkan kebenaran moral kepada para pemegang tafsir kebenaran agama yang dimiliki oleh para ulama yang dekat dengan kekuasaan. Dalam realitas politik, tokoh-tokoh Islam pendukung perda syariat Islam seperti Dien Syamsyudin, Syukri Fadholi, misalnya, di masa Orde Baru mereka menjadi bagian dari relasi politik "mutualistik" Soeharto dengan ulama.
Sementara
berbagai organisasi radikal keagamaan semacam FPI, FBR, MMI selama ini hanya
diam seribu bahasa terhadap perjuangan melawan ketidakadilan dan kezaliman
kekuasaan. Baru, setelah rezim Soeharto bangkrut, mereka berani bergerak
memperjuangkan prinsip ideologi mereka. Demikian juga MUI yang selama kekuasaan
Orba tidak konsisten dalam memperjuangkan kepentingan mayoritas ummah Muslim
yang berprofesi sebagai buruh dan petani dalam menghadapi himpitan sistem
kapitalisme kroni Orba.
Perda syariat Islam sendiri sesungguhnya bukan merupakan solusi krisis ekonomi dan multidimensional bangsa ini. Kasus korupsi kelas kakap -yang ditengarai juga menjangkiti institusi keagamaan semacam Depag- tidak mungkin bisa diberantas dengan perda syariat Islam, karena banyak pelaku korupsi yang justru memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan di pusat dan daerah.Krisis ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi sistem kapitalisme kroni Orba dan berlanjut sistem neoliberalisme pemerintahan transisi semenjak Habibie hingga SBY-JK tidak akan bisa diselesaikan dengan syariat Islam. Itu karena banyak kelompok pendukung syariat Islam yang mendukung hadirnya kekuatan borjuasi ekonomi dengan label borjuasi Muslim atau pribumi.Perda syariat Islam secara realitas, seperti tampak dan dirasakan masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang kebenaran moral syariat agama. Perda syariat Islam tidak menjawab realitas korupsi di era otonomi daerah (otda).
Perda syariat Islam boleh jadi bisa menurunkan angka kejahatan dan penyakit masyarakat, namun tidak menurunkan kejahatan politik para elite politik dan birokrasi. Justru dari pengalaman negara-negara yang mempraktikkan syariat Islam secara ortodoks, tingkat ekonomi, kesetaraan hak rakyat, dan prestasi ipteknya sangat rendah. Afghanistan, Somalia, dan Sudan barangkali bisa menjadi bukti keterpurukan negara yang menjalankan syariat Islam. Bisa dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, dan Libia yang menjalankan sistem sosialis dan sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang. Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju.
Jika memang logika berpikir kelompok politik Islam ingin mengembangkan pelaksanaan perda Syariat Islam lebih banyak diberbagai daerah, seharusnya mereka mampu merumuskan derivasi perda syariat Islam yang mampu menjawab krisis multidimensional bangsa. Misalnya, dengan tegas berani menghukum mati koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan penjahat HAM.
Perda
yang diperlukan di daerah bukanlah perda yang memunculkan ketakutan-represi
bagi masyarakat kecil, namun mampu menekan para elite pemimpin yang perilakunya
merusak keadaban publik. Jangan sampai perda syariat Islam justru dijadikan
tameng bagi para pejabat "berjenggot" dan "berjubah" untuk
berbuat korupsi dan sekaligus menyisihkan hasil korupsi untuk mendanai kegiatan
kelompok-kelompok pendukung perda syariat Islam. Namun apabila seluruh
masyarakat setia pada konsensus nasional, sebenarnyalah perda syariat Islam
tidak diperlukan di Indonesia. Ideologi kita jelas: Pancasila.
Itulah
sedikit penomena bagaimana pro dan
kontra penerapan islam di Indonesia,sekarang kita kembalikan kepada pribadi
masing – masing dalam memahai agamanya, semakin kurang paham dengan agamanya,
sesoarang akan menentang yang selama ini menempel sebagai status di KTPnya, ini
tugas kita bagaimana kita selaku Intelek Muslim menyadarkan jamaah tentang
pergetian yang utuh tentang Islam, supaya tidak latah ikut-ikutan pro dan
kontra apabila sariat agama di terapkan. Amin
Jawaban ‘
4). Paradigma
ijtihad hukum Islam yang bagaimana yang harus di kembangkan di masa kini
dan mendatang!
Dalam memenuhi Pola
Ijtihad yang Dibutuhkan pada Masa Kini,” yaitu kita harus mengetaui dimana ,” Sebagai manusia di karuniai rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya yang di berikan kepada kita semua yaitu berupa akal pikiran yang
sempurna (berbeda dengan mahluk allah SWT yang lainnya), dan seyogyanya kita
sebagai mahluk ciptaan allah yang berakal mengagungkannya dengan segala sesuatu
yang kita miliki, seperti memikirkan, mengangan-angan ciptaan Allah yang begitu
dahsyatnya menciptakan langit dan bumi seisinya serta galaksi-galaksi yang ada
di luar angkasa. Kemudian lebih mengerucut lagi pada permasalah hukum syari’at
yang di bebankan kepada kita semua untuk menjalankannya. Di dalam al-Qur’an
banyak sekali hukum yang berkaitan
dengan ciptaan Allah, tapi dengan penunjukan yang belum jelas, Itu semua di
tujukan pada manusia agar mereka berpikir tentang ayat-ayat Allah yang penuh
dengan ma’na dan rahasia tersendiri, oleh sebab itu di sini nanti kita akan
mempelajari tentang hukum-hukum islam modern melalui pemikiran manusia
seutuhnya untuk membuat suatu hukum yang baru(ijtihad).
Realita
pada zaman sekarang dengan globalisasi dan peradaban dunia yang semakin maju
memungkinkan sekali untuk suatu hukum syari’at islam berkembang, di samping itu
juga pemikiran manusia yang berkembang
dan memungkinkan manusia untuk membuat sesuatu yang baru, Dimana mereka
berpikir bahwa sesuatu yanng baru( pada
zaman rosululloh SAW tidak ada) pasti mempunyai hukum yang baru juga( dalam
al-Quran dan al-khadits belum ada),
Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan
masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi
dan lain-lainnya. Nabi saw. pernah mengatakan, bahwa setiap sertus tahun
(seabad) akan ada orang yang bertugas memperbaharui pemahaman keagamaan.Ummt
Islam telah mengalami perubahan sebanyak lima belas kali. Pada setiap abad
mestinya terdapat seorang mujtahid dan mujaddid. Orang itu harus
bisa menyelesaikan masalah pada zamannya. Hal ini berarti bahwa ijtihad para
ulama terdahulu mesti sesuai dengan waktu dan keadaan di mana mereka berada
namun belum tentu sesuai dengan keadaan umat Islam sekarang ini.
Bila
pada masa lampau seorang mujtahid ditambahkan keberadaannya oleh umat Islam,
maka sekarang keberadaannya sangat diharapkan. Al-Qardawi mengatakan: ada dua
penyebab utama mengapa syari’ah Islam tidak dapat diterapkan secara “kaffah”
pada masyarakat Islam, yaitu :
- Penyimpangan politik yang dilakukan oleh pemerintah, ia memasukkan hukum wad’i (buatan manusia) diberlakukan sebagai ganti hukum Allah swt.
- Berhentinya gerakan ijtihad, sehingga yang muncul ke permukaan ialah taklid pada suatu mazhab tertentu hukum Islam tidak mengalami perkembangan sama sekali, ia dituding tidak dapat mengikuti perkembangan (baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan) dan lain-lain. Tentu mujtahid yang diharapkan sekarang ini mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, terutama setelah adanya perubahan masyarakat, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan teknologi.
Karena
itu, ijtihad pada masa sekarang ini jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan
masa-masa lampau. Berbagai persoalan kontemporer telah muncul ke permukaan dan
menuntut kita menyelesaikannya. Persoalan-persoalan tersebut meliputi berbagai
bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai pada
masalah-masalah rekayasa genetika dalam bidang kedokteran. Dalam bidang
ekonomi, kita menjumpai beberapa kegiatan atau lembaga yang dahulu tidak ada.
Lembaga perbankan dengan segala kaitannya. Lembaga asuransi dengan segala
macamnya, merupakan masalah yang harus dilihat hukumnya dalam Islam.
Dalam
bidang kedokteran dan rekayasa genetika manusia kita menjumpai
tindakan-tindakan medis yang sangat menakjubkan. Pencangkokan jaringan atau
organ manusia, bayi tabung dan lain-lainnya perlu juga mendapatkan janaba hukum
agar hukum Islam nampak dinamis seperti masa-masa dahulu.
Berdasarkan
dengan keadaan seperti di atas, maka ijtihad pada masa sekarang ini dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjih
dan ijtihad insya’i atau ijtihad ittida’i.
1.
Ijtihad Intiqa’i atau Ijtihad Tarjihi
Yang
dimaksud dengan ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjih adalah
ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat
para ahli hukum terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana
tertulis dalam berbagai kitab hukum Islam, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat
dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi masyarakat. Kemungkinan besar
pendapat para ahli hukum Islam terdahulu mengenai masalah yang sedang
dipecahkan itu berbeda-beda. Dalam hal ini mujtahid muntaqi bertugas
untuk mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil dan argumen-argumen dari
setiap pendapat itu, kemudian memberikan preferensinya terhadap pendapat yang
dianggap kuat dan dapat diterima. Agaknya, mujtahid dalam tipe kini
hampir sama dengan ahlu al-tarjih dalam klasifikasi mujtahid yang
dikemukakan oleh ushul Fikih pada umumnya. Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli
al-tarjihi pada masa kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan
kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam.
Pada
masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan
yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli hukum Islam di
lingkungan mazhab tertentu. Artinya ruang lingkup tarjih hanya berlaku
dikalangan interen mazhab tertentu, seperti Syafi’iyyah, Malikiyyah,
dan lain-lain. Sedangkan tarjih pada masa kebangkitan kembali hukum
Islam ruang lingkupnya jauh lebih luas dari tarjih sebelumnya. Tarjih pada
periode ini berarti menyeleksi berbagai pendapat dari mazhab apapun ia berasal,
kemudian diambil pendapat yang rajih, yang paling kuat, berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan. Pendapat ahli hukum terdahulu dinyatakan rajih
apabila pendapat itu didasari oleh dalil yang kuat, cocok dengan zaman
sekarang, dan sesuai dengan tujuan disyari’atkannya hukum Islam.
Dalam
hubungan ini mempelajari hukum Islam secara komparatif dan filsafat hukum Islam
menjadi penting. Dalam rangka melakukan ijtihad initiqa’i ini seyogyanya
kita tidak membatasi diri pada mazhab yang empat saja. Melainkan harus
menjangkau berbagai mazhab lain. Sekalipun itu bukan aliran sunni. Namun
demikian Al-Qardawi mengingatkan agar dalam mengadopsi salah satu pendapat
hendaknya tidak dilakukan dengan cara serampangan, tidak dengan diteliti sebab
hal semacam itu berujung pada taklid buta. Yang perlu diteliti dan diperhatikan
bukan siapa yang mengatakannya, tetapi bagaimana dalil dan cara berpikir yang
digunakan, bagaimana relevansinya dengan masa sekarang, dan bagaimana pula
hubungan dengan maqaisid al-Syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam).
2.
Ijtihad insya’i
Pola
ijtihad yang kedua yang dibutuhkan pada masa sekarang adalah ijtihad insya’i.
ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum
mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli hukum
terdahulu. Menurut Al-Qardawi kegiatan ijtihad insya’i mutlak harus
kembali diaktifkan guna mencari solusi-solusi baru terhadap permasalahan yang
baru muncul serta demi pengembangan hukum Islam, sebab setiap masa memiliki
problem yang berbeda, demikian pula halnya dengan masa sekarang, problemnya tidak
serupa dengan masa dahulu. Kriterianya sangat keras dialamatkan kepada sebagian
ulama yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Al-Qardawi
mengingatkan munculnya dua bidang muamalah yang menuntut jawaban-jawaban baru
khususnya ditinjau dari segi hukum dalam pelaksanaannya, kedua bidang muamalah
itu, ialah :
Pertama
: Bidang ekonomi atau keuangan,
dalam bidang ini muncul sederetan bentuk-bentuk transaksi yang sifatnya tidak
pernah dijumpai pada masa dahulu seperti : Asuransi dengan berbagai bentuk dan
ragamnya, perbankan dengan segala macam bentuk transaksinya. Semua itu menunggu
jawaban hukum secara pasti dan cepat.
Kedua
: Bidang ilmu pengetahuan atau
kedokteran. Dalam bidang ini juga ditemukan berbagai cara kegiatan yang
memerlukan kejelasan hukum. Sebagai sebagai contoh dapat dikemukakan kasus
pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia. Dalam kasus ini maka muncullah
beberapa pertanyaan.
- Apakah dibolehkan dalam Islam pencangkokan organ tubuh binatang dalam diri/tubuh manusia dengan alasan demi menyelamatkan jiwa orang tersebut meskipun binatang itu adalah babi ?
- Apakah seorang muslim berhak memberikanb izin untuk dipergunakan salah satu anggota tubuhnya demi kepentingan anaknya atau kedua orang tuanya ?
- Bolehkah seorang muslim memberikan jazadnya (mayatnya) untuk diadopsi dalam rangka kajian-kajian kedokteran?
Jadi Ijtihad dalam Islam berfungsi sebagai
dinamisator didalam sistem hukum Islam. Ijtihad merupakan sarana yang paling
ampuh untuk menerapkan hukum Islam di segala bidang. Oleh karena itu, apabila
ijtihad tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka akan terasa suatu kelakuan
dalam sistem hukum Islam. Sebab, perjalanan hidup dan kehidupan manusia
senantiasa berkembang seperti kemajuan ilmu dan teknologi yang dengan
sendirinya membutuhkan jawaban-jawaban yuridis demi memperoleh kepastian hukum
terhadap seluruh aspek kegiatannya sehingga Islam tetap tampil sebagai rahmatan
lil alamin.