Jawaban
‘
3).
Bagaimana pandangan saudara/i tentang pemberlakuan syariat Islam di Indonesia
Bangsa indonesia adalah mayoritas beragama islam, dan tidak di ragukan kan lagi bangsa yang penduduknya beragama islam terbanyak di dunia , ini sudah di akui oleh bangsa – bangsa di dunia ini, Cuma permasalahanya bangsa kita yang mayoritas islam dan terbesar di dunia ini, realitasnya tidak berkonsesten dalam agamanya, karena apa ? “Coba kalau kita ingat makna hadits nabi “ Suatu hari nanti di jaman ahir umat islam itu lemah tidak punya kekuatan” sahabat bertanya kenapa yaa rasul, “Apa di karenakan sedikit jumblahnya pada saat itu, jawab nabi tidak, bahkan jumlahnya banyak, namun seperti buih di tengah lautan kalau di terpa badai, mereka sudah tidak juhud dalam sariatnya dikarenakan ubud dunia dan takut mati” jadi menurut saya sariat islam di terapkan di Indonesia sulit sekali di karenakan masarakatnya belum siap dan kurangnnya umat memahami agamanya, makanya ketika syariat ini mau di terapkan, yang berdemo kebanyakan dari kalangan umat islam itu sendiri, ada apa gerangan, apa tuntutan yang berkepentingan terhadap keuntungan dunia? Saya kurang tau, tapi kalau kembali makna hadits nabi tsb di atas spertinya tidak berselisih, dan praktek nya penerapan syariat islam pun mengalami ,” Kontroversi “ dimana penerapan perda syariat islam mendapat berbagai kontoversi dimana – mana dengan alas an beraneka ragam menurut persi mereka.
Makanya dalam penerapan
Syariat Islam harus melihat kearipan local suatu daerah tersebut karena, “ Bangsa indonesia adalah bangsa yang majemuk yang terdiri dari
berbagai macametnis dan golongan. Dengan kondisi yang seperti itu bangsa
indonesia tentunya memerlukan cara yang khusus untuk mengatur warganya. Dan
karena labar belakang sejarah bangsa indonesia yang merupakan bangsa yang
sangat besar maka aturan itu haruslah mencakup seluruh aspek masyarakat, dan
bukan hanya golongan tertentu saja. Belakangan ini muncul beberapa daerah yang
ingin menerapkan syariat islam di wilayahnya. Hal ini tidak aneh mengingat
wilayah itu mempunyai hak otonomi daerah. Dan pemberrlakuan perda itu merupakan
kebijakan yang dianggap paling baik oleh jajaran pemerintahan di wilayah
tertentu. Dan beberapa memang terbukti bahwa perda syariat ini mempunyai dampak
yang positif bagi masyarakat, yaitu angka kriminalitas menurun.
Secara
legal-formal pemberlakuan syariah Islam di era otonomi daerah ditetapkan
terutama lewat peraturan daerah (perda) yang memiliki kekuatan hukum atau
politis. Meski Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang otonomi daerah tidak memberi
wewenang bidang peradilan dan agama kepada daerah, tetapi dalam praktiknya,
perda-perda itu menyentuh persoalan agama dan quasi-peradilan. Karenanya,
keberadaan perda-perda syariah itu perlu terus dikaji untuk menguji, apakah
peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan undang-undang dan
Konstitusi atau tidak.karena perda
syariah tidak jarang menimbulkan kontroversi serta memicu perdebatan dalam
masyarakat, walaupun kelompok yang mendukung keberadaan perda lebih besar
daripada kelompok yang menolaknya. Memang
setelah penerapan perda syariat itu ada banyak tentangan dari beberapa pihak
yang meminta aturan itu untuk dievaluasi lebih lanjut dampak dan manfaatnya.
Pada bulan juni 2006 ada sekitar 56 anggota DPR mengeluarkan petisi keberatan
terhadap sejumlah peraturan daerah bernuansa syariat Islam di beberapa daerah.
Sebagian mengajukan evaluasi ulang untuk perda tersebut dan yang lainnya
berpendapat bahwa perda itu dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi
negara yaitu Pancasila.
Ada
beberapa daerah yang sudah menerapkan perda syariat islam. Perda bernuansa
syariat Islam salah satunya diberlakukan Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 451/2712/ASDA.I/2001, lahirlah
Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Salah
satu wujud pemberlakuan SK tersebut, aparatur Gerbang Marhamah dibantu
masyarakat merazia pemakaian jilbab.Selain Cianjur, terhitung ada 22 daerah
yang menerapkan perda bernuansa syariat Islam. Di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan misalnya, diberlakukan Perda Minuman Keras serta zakat, infak, dan
sedekah. Demikian pula di Kota Madya Tangerang, Banten yang dipayungi Perda
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran.
Menurut
T.Yulianto penerapan perda syariat islam ini memunculkan dua pendapat, yang
setuju dan yang tidak setuju. Ada kalangan yang setuju, terutama dari kelompok
Islam politik (elite politik), menganggap adanya perda tersebut bisa menjadi
media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti
kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil.
Mereka memiliki argumentasi bahwa keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Djakarta membutuhkan perjuangan yang lama.
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakukan perda syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut.Memang ada sisi positif yang berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Di Kabupaten Bulukumba, penerapan perda bernuansa syariat Islam terbukti mampu menurunkan angka kriminalitas. Kasus pencurian misalnya, dari berjumlah 78 kasus, kini menurun drastis hingga nol. Demikian pula perkosaan yang sebelumnya 41 kasus menjadi nol.
Tetapi apakah itu tujuan yang sebenarnya dari penyelenggaraan pemerintahan. Bukankah pemerintahan bertujuan untuk mensejahterakan penduduknya, dan bukan hanya meminimalisir dampak dari tidak sejahteranya masyarakat. Karena masalah kriminalitas dimasyarakat merupakan hal yang sangat komplek, dan seringkali karena keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat baik.
Memang menurut T .Yulianto, yang merupakan Direktur Eksekutif LSPMB, ada realitas sosial di balik pemberlakukan perda syariat Islam diberbagai daerah. Ternyata perda syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Mengapa demikian, karena perda tersebut cenderung "menghukum" para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Ia tidak punya "taring" menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum maling-penjudi-penzinah kelas teri.
Perda
syariat Islam juga memiliki dimensi "pembalikan" terhadap nilai
moralitas yang hakiki, karena menyerahkan kebenaran moral kepada para pemegang
tafsir kebenaran agama yang dimiliki oleh para ulama yang dekat dengan
kekuasaan. Dalam realitas politik, tokoh-tokoh Islam pendukung perda syariat
Islam seperti Dien Syamsyudin, Syukri Fadholi, misalnya, di masa Orde Baru
mereka menjadi bagian dari relasi politik "mutualistik" Soeharto
dengan ulama.
Mereka memiliki argumentasi bahwa keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Djakarta membutuhkan perjuangan yang lama.
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakukan perda syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut.Memang ada sisi positif yang berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Di Kabupaten Bulukumba, penerapan perda bernuansa syariat Islam terbukti mampu menurunkan angka kriminalitas. Kasus pencurian misalnya, dari berjumlah 78 kasus, kini menurun drastis hingga nol. Demikian pula perkosaan yang sebelumnya 41 kasus menjadi nol.
Tetapi apakah itu tujuan yang sebenarnya dari penyelenggaraan pemerintahan. Bukankah pemerintahan bertujuan untuk mensejahterakan penduduknya, dan bukan hanya meminimalisir dampak dari tidak sejahteranya masyarakat. Karena masalah kriminalitas dimasyarakat merupakan hal yang sangat komplek, dan seringkali karena keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat baik.
Memang menurut T .Yulianto, yang merupakan Direktur Eksekutif LSPMB, ada realitas sosial di balik pemberlakukan perda syariat Islam diberbagai daerah. Ternyata perda syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Mengapa demikian, karena perda tersebut cenderung "menghukum" para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Ia tidak punya "taring" menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum maling-penjudi-penzinah kelas teri.
Sementara
berbagai organisasi radikal keagamaan semacam FPI, FBR, MMI selama ini hanya
diam seribu bahasa terhadap perjuangan melawan ketidakadilan dan kezaliman
kekuasaan. Baru, setelah rezim Soeharto bangkrut, mereka berani bergerak
memperjuangkan prinsip ideologi mereka. Demikian juga MUI yang selama kekuasaan
Orba tidak konsisten dalam memperjuangkan kepentingan mayoritas ummah Muslim
yang berprofesi sebagai buruh dan petani dalam menghadapi himpitan sistem
kapitalisme kroni Orba.
Perda syariat Islam sendiri sesungguhnya bukan merupakan solusi krisis ekonomi dan multidimensional bangsa ini. Kasus korupsi kelas kakap -yang ditengarai juga menjangkiti institusi keagamaan semacam Depag- tidak mungkin bisa diberantas dengan perda syariat Islam, karena banyak pelaku korupsi yang justru memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan di pusat dan daerah.Krisis ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi sistem kapitalisme kroni Orba dan berlanjut sistem neoliberalisme pemerintahan transisi semenjak Habibie hingga SBY-JK tidak akan bisa diselesaikan dengan syariat Islam. Itu karena banyak kelompok pendukung syariat Islam yang mendukung hadirnya kekuatan borjuasi ekonomi dengan label borjuasi Muslim atau pribumi.Perda syariat Islam secara realitas, seperti tampak dan dirasakan masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang kebenaran moral syariat agama. Perda syariat Islam tidak menjawab realitas korupsi di era otonomi daerah (otda).
Perda syariat Islam boleh jadi bisa menurunkan angka kejahatan dan penyakit masyarakat, namun tidak menurunkan kejahatan politik para elite politik dan birokrasi. Justru dari pengalaman negara-negara yang mempraktikkan syariat Islam secara ortodoks, tingkat ekonomi, kesetaraan hak rakyat, dan prestasi ipteknya sangat rendah. Afghanistan, Somalia, dan Sudan barangkali bisa menjadi bukti keterpurukan negara yang menjalankan syariat Islam. Bisa dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, dan Libia yang menjalankan sistem sosialis dan sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang. Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju.
Jika memang logika berpikir kelompok politik Islam ingin mengembangkan pelaksanaan perda Syariat Islam lebih banyak diberbagai daerah, seharusnya mereka mampu merumuskan derivasi perda syariat Islam yang mampu menjawab krisis multidimensional bangsa. Misalnya, dengan tegas berani menghukum mati koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan penjahat HAM.
Perda
yang diperlukan di daerah bukanlah perda yang memunculkan ketakutan-represi
bagi masyarakat kecil, namun mampu menekan para elite pemimpin yang perilakunya
merusak keadaban publik. Jangan sampai perda syariat Islam justru dijadikan
tameng bagi para pejabat "berjenggot" dan "berjubah" untuk
berbuat korupsi dan sekaligus menyisihkan hasil korupsi untuk mendanai kegiatan
kelompok-kelompok pendukung perda syariat Islam. Namun apabila seluruh
masyarakat setia pada konsensus nasional, sebenarnyalah perda syariat Islam
tidak diperlukan di Indonesia. Ideologi kita jelas: Pancasila.
Itulah
sedikit penomena bagaimana pro dan
kontra penerapan islam di Indonesia,sekarang kita kembalikan kepada pribadi
masing – masing dalam memahai agamanya, semakin kurang paham dengan agamanya,
sesoarang akan menentang yang selama ini menempel sebagai status di KTPnya, ini
tugas kita bagaimana kita selaku Intelek Muslim menyadarkan jamaah tentang
pergetian yang utuh tentang Islam, supaya tidak latah ikut-ikutan pro dan
kontra apabila sariat agama di terapkan. Amin