Semester Dua

  1. Metodologi Penelitian 
  2. Studi Hadits
  3. Manajemen Pendidikan Islam
  4. Belajar dan Pembelajaran
  5. Sisiologi Agama
  6. Fiqh Kontemporer

Untuk Mengetaui Jawaban Jawaban Soal- Soal Tesrsebut di Atas Klick Saja Link-Link No 1 s/d 6

Paradigma ijtihad hukum Islam yang bagaimana yang harus di kembangkan di masa kini dan mendatang!

Jawaban ‘
4). Paradigma ijtihad hukum Islam yang bagaimana yang harus di kembangkan di masa kini dan  mendatang!


Dalam memenuhi Pola Ijtihad yang Dibutuhkan pada Masa Kini,” yaitu kita harus  mengetaui dimana ,”  Sebagai  manusia di karuniai rahmat, taufik, dan hidayah-Nya yang di berikan kepada kita semua yaitu berupa akal pikiran yang sempurna (berbeda dengan mahluk allah SWT yang lainnya), dan seyogyanya kita sebagai mahluk ciptaan allah yang berakal mengagungkannya dengan segala sesuatu yang kita miliki, seperti memikirkan, mengangan-angan ciptaan Allah yang begitu dahsyatnya menciptakan langit dan bumi seisinya serta galaksi-galaksi yang ada di luar angkasa. Kemudian lebih mengerucut lagi pada permasalah hukum syari’at yang di bebankan kepada kita semua untuk menjalankannya. Di dalam al-Qur’an banyak  sekali hukum yang berkaitan dengan ciptaan Allah, tapi dengan penunjukan yang belum jelas, Itu semua di tujukan pada manusia agar mereka berpikir tentang ayat-ayat Allah yang penuh dengan ma’na dan rahasia tersendiri, oleh sebab itu di sini nanti kita akan mempelajari tentang hukum-hukum islam modern melalui pemikiran manusia seutuhnya untuk membuat suatu hukum yang baru(ijtihad). 
            Realita
pada zaman sekarang dengan globalisasi dan peradaban dunia yang semakin maju memungkinkan sekali untuk suatu hukum syari’at islam berkembang, di samping itu juga pemikiran manusia yang berkembang  dan memungkinkan manusia untuk membuat sesuatu yang baru, Dimana mereka berpikir bahwa sesuatu  yanng baru( pada zaman rosululloh SAW tidak ada) pasti mempunyai hukum yang baru juga( dalam al-Quran dan al-khadits belum ada),
 Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi dan lain-lainnya. Nabi saw. pernah mengatakan, bahwa setiap sertus tahun (seabad) akan ada orang yang bertugas memperbaharui pemahaman keagamaan.Ummt Islam telah mengalami perubahan sebanyak lima belas kali. Pada setiap abad mestinya terdapat seorang mujtahid dan mujaddid. Orang itu harus bisa menyelesaikan masalah pada zamannya. Hal ini berarti bahwa ijtihad para ulama terdahulu mesti sesuai dengan waktu dan keadaan di mana mereka berada namun belum tentu sesuai dengan keadaan umat Islam sekarang ini.
Bila pada masa lampau seorang mujtahid ditambahkan keberadaannya oleh umat Islam, maka sekarang keberadaannya sangat diharapkan. Al-Qardawi mengatakan: ada dua penyebab utama mengapa syari’ah Islam tidak dapat diterapkan secara “kaffah” pada masyarakat Islam, yaitu :
  1. Penyimpangan politik yang dilakukan oleh pemerintah, ia memasukkan hukum wad’i (buatan manusia) diberlakukan sebagai ganti hukum Allah swt.
  2. Berhentinya gerakan ijtihad, sehingga yang muncul ke permukaan ialah taklid pada suatu mazhab tertentu hukum Islam tidak mengalami perkembangan sama sekali, ia dituding tidak dapat mengikuti perkembangan (baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan) dan lain-lain. Tentu mujtahid yang diharapkan sekarang ini mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, terutama setelah adanya perubahan masyarakat, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan teknologi.
Karena itu, ijtihad pada masa sekarang ini jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan masa-masa lampau. Berbagai persoalan kontemporer telah muncul ke permukaan dan menuntut kita menyelesaikannya. Persoalan-persoalan tersebut meliputi berbagai bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai pada masalah-masalah rekayasa genetika dalam bidang kedokteran. Dalam bidang ekonomi, kita menjumpai beberapa kegiatan atau lembaga yang dahulu tidak ada. Lembaga perbankan dengan segala kaitannya. Lembaga asuransi dengan segala macamnya, merupakan masalah yang harus dilihat hukumnya dalam Islam.
Dalam bidang kedokteran dan rekayasa genetika manusia kita menjumpai tindakan-tindakan medis yang sangat menakjubkan. Pencangkokan jaringan atau organ manusia, bayi tabung dan lain-lainnya perlu juga mendapatkan janaba hukum agar hukum Islam nampak dinamis seperti masa-masa dahulu.
Berdasarkan dengan keadaan seperti di atas, maka ijtihad pada masa sekarang ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjih dan ijtihad insya’i atau ijtihad ittida’i.
1. Ijtihad Intiqa’i atau Ijtihad Tarjihi
            Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjih adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli hukum terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam berbagai kitab hukum Islam, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi masyarakat. Kemungkinan besar pendapat para ahli hukum Islam terdahulu mengenai masalah yang sedang dipecahkan itu berbeda-beda. Dalam hal ini mujtahid muntaqi bertugas untuk mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil dan argumen-argumen dari setiap pendapat itu, kemudian memberikan preferensinya terhadap pendapat yang dianggap kuat dan dapat diterima. Agaknya, mujtahid dalam tipe kini hampir sama dengan ahlu al-tarjih dalam klasifikasi mujtahid yang dikemukakan oleh ushul Fikih pada umumnya. Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli al-tarjihi pada masa kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam.

     
Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli hukum Islam di lingkungan mazhab tertentu. Artinya ruang lingkup tarjih hanya berlaku dikalangan interen mazhab tertentu, seperti Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan lain-lain. Sedangkan tarjih pada masa kebangkitan kembali hukum Islam ruang lingkupnya jauh lebih luas dari tarjih sebelumnya. Tarjih pada periode ini berarti menyeleksi berbagai pendapat dari mazhab apapun ia berasal, kemudian diambil pendapat yang rajih, yang paling kuat, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Pendapat ahli hukum terdahulu dinyatakan rajih apabila pendapat itu didasari oleh dalil yang kuat, cocok dengan zaman sekarang, dan sesuai dengan tujuan disyari’atkannya hukum Islam.
            Dalam hubungan ini mempelajari hukum Islam secara komparatif dan filsafat hukum Islam menjadi penting. Dalam rangka melakukan ijtihad initiqa’i ini seyogyanya kita tidak membatasi diri pada mazhab yang empat saja. Melainkan harus menjangkau berbagai mazhab lain. Sekalipun itu bukan aliran sunni. Namun demikian Al-Qardawi mengingatkan agar dalam mengadopsi salah satu pendapat hendaknya tidak dilakukan dengan cara serampangan, tidak dengan diteliti sebab hal semacam itu berujung pada taklid buta. Yang perlu diteliti dan diperhatikan bukan siapa yang mengatakannya, tetapi bagaimana dalil dan cara berpikir yang digunakan, bagaimana relevansinya dengan masa sekarang, dan bagaimana pula hubungan dengan maqaisid al-Syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam).
2. Ijtihad insya’i
Pola ijtihad yang kedua yang dibutuhkan pada masa sekarang adalah ijtihad insya’i. ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli hukum terdahulu. Menurut Al-Qardawi kegiatan ijtihad insya’i mutlak harus kembali diaktifkan guna mencari solusi-solusi baru terhadap permasalahan yang baru muncul serta demi pengembangan hukum Islam, sebab setiap masa memiliki problem yang berbeda, demikian pula halnya dengan masa sekarang, problemnya tidak serupa dengan masa dahulu. Kriterianya sangat keras dialamatkan kepada sebagian ulama yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Al-Qardawi mengingatkan munculnya dua bidang muamalah yang menuntut jawaban-jawaban baru khususnya ditinjau dari segi hukum dalam pelaksanaannya, kedua bidang muamalah itu, ialah :
Pertama : Bidang ekonomi atau keuangan, dalam bidang ini muncul sederetan bentuk-bentuk transaksi yang sifatnya tidak pernah dijumpai pada masa dahulu seperti : Asuransi dengan berbagai bentuk dan ragamnya, perbankan dengan segala macam bentuk transaksinya. Semua itu menunggu jawaban hukum secara pasti dan cepat.
Kedua : Bidang ilmu pengetahuan atau kedokteran. Dalam bidang ini juga ditemukan berbagai cara kegiatan yang memerlukan kejelasan hukum. Sebagai sebagai contoh dapat dikemukakan kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia. Dalam kasus ini maka muncullah beberapa pertanyaan.
  1. Apakah dibolehkan dalam Islam pencangkokan organ tubuh binatang dalam diri/tubuh manusia dengan alasan demi menyelamatkan jiwa orang tersebut meskipun binatang itu adalah babi ?
  2. Apakah seorang muslim berhak memberikanb izin untuk dipergunakan salah satu anggota tubuhnya demi kepentingan anaknya atau kedua orang tuanya ?
  3. Bolehkah seorang muslim memberikan jazadnya (mayatnya) untuk diadopsi dalam rangka kajian-kajian kedokteran?
Jadi  Ijtihad dalam Islam berfungsi sebagai dinamisator didalam sistem hukum Islam. Ijtihad merupakan sarana yang paling ampuh untuk menerapkan hukum Islam di segala bidang. Oleh karena itu, apabila ijtihad tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka akan terasa suatu kelakuan dalam sistem hukum Islam. Sebab, perjalanan hidup dan kehidupan manusia senantiasa berkembang seperti kemajuan ilmu dan teknologi yang dengan sendirinya membutuhkan jawaban-jawaban yuridis demi memperoleh kepastian hukum terhadap seluruh aspek kegiatannya sehingga Islam tetap tampil sebagai rahmatan lil alamin.

Bagaimana pandangan saudara/i tentang pemberlakuan syariat Islam di Indonesia

Jawaban ‘
3). Bagaimana pandangan saudara/i tentang pemberlakuan syariat Islam di Indonesia


Bangsa indonesia adalah mayoritas beragama islam, dan tidak di ragukan kan lagi bangsa yang penduduknya beragama islam terbanyak di dunia , ini sudah di akui oleh  bangsa – bangsa di dunia ini, Cuma permasalahanya bangsa kita yang mayoritas islam dan terbesar di dunia ini, realitasnya tidak berkonsesten dalam agamanya, karena apa ? “Coba kalau kita ingat makna hadits nabi “ Suatu hari nanti di jaman ahir umat islam itu lemah tidak punya kekuatan” sahabat bertanya kenapa yaa rasul, “Apa di  karenakan sedikit jumblahnya pada saat itu, jawab nabi tidak, bahkan jumlahnya banyak, namun seperti buih di tengah lautan kalau di terpa badai, mereka sudah tidak juhud dalam sariatnya dikarenakan ubud dunia dan takut mati” jadi menurut saya sariat islam di terapkan di Indonesia sulit sekali di karenakan masarakatnya belum siap dan kurangnnya umat memahami agamanya, makanya ketika syariat ini mau di  terapkan, yang berdemo kebanyakan dari kalangan umat islam itu sendiri, ada apa gerangan, apa tuntutan yang berkepentingan terhadap keuntungan dunia? Saya kurang tau, tapi kalau kembali makna hadits nabi tsb di atas spertinya tidak berselisih, dan  praktek nya penerapan syariat islam pun mengalami ,” Kontroversi “ dimana penerapan perda syariat islam mendapat berbagai kontoversi dimana – mana dengan alas an beraneka ragam  menurut persi mereka.
Makanya dalam penerapan Syariat Islam harus melihat kearipan local suatu daerah tersebut karena, “ Bangsa indonesia adalah  bangsa yang majemuk yang terdiri dari berbagai macametnis dan golongan. Dengan kondisi yang seperti itu bangsa indonesia tentunya memerlukan cara yang khusus untuk mengatur warganya. Dan karena labar belakang sejarah bangsa indonesia yang merupakan bangsa yang sangat besar maka aturan itu haruslah mencakup seluruh aspek masyarakat, dan bukan hanya golongan tertentu saja. Belakangan ini muncul beberapa daerah yang ingin menerapkan syariat islam di wilayahnya. Hal ini tidak aneh mengingat wilayah itu mempunyai hak otonomi daerah. Dan pemberrlakuan perda itu merupakan kebijakan yang dianggap paling baik oleh jajaran pemerintahan di wilayah tertentu. Dan beberapa memang terbukti bahwa perda syariat ini mempunyai dampak yang positif bagi masyarakat, yaitu angka kriminalitas menurun.
Secara legal-formal pemberlakuan syariah Islam di era otonomi daerah ditetapkan terutama lewat peraturan daerah (perda) yang memiliki kekuatan hukum atau politis. Meski Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang otonomi daerah tidak memberi wewenang bidang peradilan dan agama kepada daerah, tetapi dalam praktiknya, perda-perda itu menyentuh persoalan agama dan quasi-peradilan. Karenanya, keberadaan perda-perda syariah itu perlu terus dikaji untuk menguji, apakah peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan undang-undang dan Konstitusi atau tidak.karena  perda syariah tidak jarang menimbulkan kontroversi serta memicu perdebatan dalam masyarakat, walaupun kelompok yang mendukung keberadaan perda lebih besar daripada kelompok yang menolaknya.             Memang setelah penerapan perda syariat itu ada banyak tentangan dari beberapa pihak yang meminta aturan itu untuk dievaluasi lebih lanjut dampak dan manfaatnya. Pada bulan juni 2006 ada sekitar 56 anggota DPR mengeluarkan petisi keberatan terhadap sejumlah peraturan daerah bernuansa syariat Islam di beberapa daerah. Sebagian mengajukan evaluasi ulang untuk perda tersebut dan yang lainnya berpendapat bahwa perda itu dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi negara yaitu Pancasila.
Ada beberapa daerah yang sudah menerapkan perda syariat islam. Perda bernuansa syariat Islam salah satunya diberlakukan Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 451/2712/ASDA.I/2001, lahirlah Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Salah satu wujud pemberlakuan SK tersebut, aparatur Gerbang Marhamah dibantu masyarakat merazia pemakaian jilbab.Selain Cianjur, terhitung ada 22 daerah yang menerapkan perda bernuansa syariat Islam. Di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan misalnya, diberlakukan Perda Minuman Keras serta zakat, infak, dan sedekah. Demikian pula di Kota Madya Tangerang, Banten yang dipayungi Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran.
Menurut T.Yulianto penerapan perda syariat islam ini memunculkan dua pendapat, yang setuju dan yang tidak setuju. Ada kalangan yang setuju, terutama dari kelompok Islam politik (elite politik), menganggap adanya perda tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil.
Mereka memiliki argumentasi bahwa keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Djakarta membutuhkan perjuangan yang lama.
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakukan perda syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut.Memang ada sisi positif yang berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Di Kabupaten Bulukumba, penerapan perda bernuansa syariat Islam terbukti mampu menurunkan angka kriminalitas. Kasus pencurian misalnya, dari berjumlah 78 kasus, kini menurun drastis hingga nol. Demikian pula perkosaan yang sebelumnya 41 kasus menjadi nol.
            Tetapi apakah itu tujuan yang sebenarnya dari penyelenggaraan pemerintahan. Bukankah pemerintahan bertujuan untuk mensejahterakan penduduknya, dan bukan hanya meminimalisir dampak dari tidak sejahteranya masyarakat. Karena masalah kriminalitas dimasyarakat merupakan hal yang sangat komplek, dan seringkali karena keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat baik.
Memang menurut T .Yulianto, yang merupakan Direktur Eksekutif LSPMB, ada realitas sosial di balik pemberlakukan perda syariat Islam diberbagai daerah. Ternyata perda syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Mengapa demikian, karena perda tersebut cenderung "menghukum" para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Ia tidak punya "taring" menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum maling-penjudi-penzinah kelas teri.


            Perda syariat Islam juga memiliki dimensi "pembalikan" terhadap nilai moralitas yang hakiki, karena menyerahkan kebenaran moral kepada para pemegang tafsir kebenaran agama yang dimiliki oleh para ulama yang dekat dengan kekuasaan. Dalam realitas politik, tokoh-tokoh Islam pendukung perda syariat Islam seperti Dien Syamsyudin, Syukri Fadholi, misalnya, di masa Orde Baru mereka menjadi bagian dari relasi politik "mutualistik" Soeharto dengan ulama.
Sementara berbagai organisasi radikal keagamaan semacam FPI, FBR, MMI selama ini hanya diam seribu bahasa terhadap perjuangan melawan ketidakadilan dan kezaliman kekuasaan. Baru, setelah rezim Soeharto bangkrut, mereka berani bergerak memperjuangkan prinsip ideologi mereka. Demikian juga MUI yang selama kekuasaan Orba tidak konsisten dalam memperjuangkan kepentingan mayoritas ummah Muslim yang berprofesi sebagai buruh dan petani dalam menghadapi himpitan sistem kapitalisme kroni Orba.

            Perda syariat Islam sendiri sesungguhnya bukan merupakan solusi krisis ekonomi dan multidimensional bangsa ini. Kasus korupsi kelas kakap -yang ditengarai juga menjangkiti institusi keagamaan semacam Depag- tidak mungkin bisa diberantas dengan perda syariat Islam, karena banyak pelaku korupsi yang justru memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan di pusat dan daerah.Krisis ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi sistem kapitalisme kroni Orba dan berlanjut sistem neoliberalisme pemerintahan transisi semenjak Habibie hingga SBY-JK tidak akan bisa diselesaikan dengan syariat Islam. Itu karena banyak kelompok pendukung syariat Islam yang mendukung hadirnya kekuatan borjuasi ekonomi dengan label borjuasi Muslim atau pribumi.Perda syariat Islam secara realitas, seperti tampak dan dirasakan masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang kebenaran moral syariat agama. Perda syariat Islam tidak menjawab realitas korupsi di era otonomi daerah (otda).
            Perda syariat Islam boleh jadi bisa menurunkan angka kejahatan dan penyakit masyarakat, namun tidak menurunkan kejahatan politik para elite politik dan birokrasi. Justru dari pengalaman negara-negara yang mempraktikkan syariat Islam secara ortodoks, tingkat ekonomi, kesetaraan hak rakyat, dan prestasi ipteknya sangat rendah. Afghanistan, Somalia, dan Sudan barangkali bisa menjadi bukti keterpurukan negara yang menjalankan syariat Islam. Bisa dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, dan Libia yang menjalankan sistem sosialis dan sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang. Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju.
Jika memang logika berpikir kelompok politik Islam ingin mengembangkan pelaksanaan perda Syariat Islam lebih banyak diberbagai daerah, seharusnya mereka mampu merumuskan derivasi perda syariat Islam yang mampu menjawab krisis multidimensional bangsa. Misalnya, dengan tegas berani menghukum mati koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan penjahat HAM.
Perda yang diperlukan di daerah bukanlah perda yang memunculkan ketakutan-represi bagi masyarakat kecil, namun mampu menekan para elite pemimpin yang perilakunya merusak keadaban publik. Jangan sampai perda syariat Islam justru dijadikan tameng bagi para pejabat "berjenggot" dan "berjubah" untuk berbuat korupsi dan sekaligus menyisihkan hasil korupsi untuk mendanai kegiatan kelompok-kelompok pendukung perda syariat Islam. Namun apabila seluruh masyarakat setia pada konsensus nasional, sebenarnyalah perda syariat Islam tidak diperlukan di Indonesia. Ideologi kita jelas: Pancasila.
            Itulah sedikit penomena  bagaimana pro dan kontra penerapan islam di Indonesia,sekarang kita kembalikan kepada pribadi masing – masing dalam memahai agamanya, semakin kurang paham dengan agamanya, sesoarang akan menentang yang selama ini menempel sebagai status di KTPnya, ini tugas kita bagaimana kita selaku Intelek Muslim menyadarkan jamaah tentang pergetian yang utuh tentang Islam, supaya tidak latah ikut-ikutan pro dan kontra apabila sariat agama di terapkan. Amin 

Bagaimana relasi ideal hubungan agama dan Negara?

Jawaban ‘
2) .  Bagaimana relasi ideal hubungan agama dan Negara?

            Di negara Indonesia, agama menduduki posisi sentral dan terhormat. Begitu terhormatnya, sehingga tidak tersentuh bahkan tidak boleh jadi pembicaraan. Sering terdengar dari lisan para petinggi negeri ini, termasuk para pengamat yang menyatakan:
“Jangan bawa-bawa  agama dalam urusan negara. Agama bersifat individual, sedangkan urusan publik adalah urusan negara. Negara indonesia bukanlah negara agama, karena itu agama cukuplah menjadi urusan departemen agama saja.”
Sampai disini, nampaknya sebagian besar umat beragama menerima dengan sukarela, tanpa protes. Umat beragama dibungkam dengan  pancasila yang dianggap sebagai konsep final dalam mewujudkan sebuah negara yang bersatu, adil dan makmur. Sekalipun selama 62 tahun Indonesia merdeka, pancasila terbukti gagal menjadikan Indonesia sebagai sokoguru sebuah negara ideal yang berketuhanan dan berprikemanusiaan yang adil dan beradab.
Benarkah pancasila adalah dasar Negara RI? Pertanyaan ini patut dijelaskan secara konstitusional disebabkan adanya inkonsistensi. TAP MPR XVIII Tahun 1998 mencabut P4 dan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Sebelumnya TAP MPRS XXV/1966 mencantumkan pancasila sebagai dasar Negara. Tetapi menurut UUD 1945 ps 29 ayat 1 menyatakan: Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan berdasarkan pancasila. Artinya, TAP MPR atau UUD ’45, menunjukkan hubungan agama di negara RI mestinya harmonis, karena dasar Negara yang juga menjadi sila pertama pancasila. Bukan dijadikan sebagai ikon konflik SARA seperti sekarang.
Apa definisi negara pancasila? Hingga sekarang belum ada penjelasan konstitusional, karena itu sering disalahgunakan. Mantan Presiden Suharto mewariskan kesalahan besar ketika dia menyatakan: Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler.
Implementasi pancasila, sejak awal sudah bermasalah. Rezim orla Sukarno menerapkan pancasila berbasis sinkretisme ideologi, yang dikenal dengan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Sedang rezim Suharto mengamalkan pancasila berbasis budaya yang memunculkan ideologi asas tunggal pancasila. Di zaman reformasi, pancasila membonceng liberalisme berdasarkan 4 pilar kebangsaan (Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Pancasila, dan UUD ’45).
            Jika kita berpegang pada UUD ’45, maka negara RI sesungguhnya berdasarkan agama. Sebab istilah Ketuhanan YME adalah konsep agama, bukan konsep sekularisme, demokrasi, ataupun liberalisme. Ketiga isme ini tidak bicara soal Tuhan, sekiranya membicarakan konsep ketuhanan juga mereka tidak bisa. Sebab siapapun yang berkeyakinan adanya Tuhan YME harus memiliki kitab suci untuk mengenalkan siapa Tuhan itu, agar tidak salah dalam mengenal Tuhan. Di zaman jahiliyah batu dianggap tuhan, sapi, kerbau dijadikan tuhan. Ada juga yang menjadikan jin sebagai tuhan yang disembah. Selain itu, harus juga memiliki nabi yang mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan yang benar, agar tidak membuat-buat cara penyembahan menurut selera hawa nafsu si penyembah.
            Dalam hal ini, pancasila benar-benar gagal membangun masyarakat yang berketuhanan. Sebab masih banyak rakyat Indonesia yang menyembah gunung, seperti gunung bromo di Jatim; menyembah sapi seperti kyai Slamet di Solo, atau menyembah jin seperti Nyai Rorokidul di Yogyakarta. Lalu siapa tuhan sekularisme, demokrasi dan liberalisme? Siapa nabi dan apa kitab sucinya?
Negara RI yang berdasarkan Ketuhanan YME ini, sesungguhnya berdasarkan agama, karena itu segala bentuk aturan dan UU tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama, seperti penjelasan Prof. Hazairin, SH berkaitan dengan ps 29 ayat 2 UUD ’45. Terjadinya tindak kejahatan, berupa korupsi, merajalelanya dekadensi moral di kalangan pejabat dan generasi muda, juga narkoba. Termasuk aksi kekerasan komunal dan sosial, disebabkan penyimpangan implementasi dasar Negara. Maka yang bertanggungjawab atas penyimpangan ini tentu saja penyelenggara Negara, khususnya sekularisme, liberalisme dapat demokrasi.
            Selama ini kaum sekuler senantiasa berusaha memerangi agama sebagai tatanan hidup rakyat Indonesia, padahal mereka selalu mengusung slogan bebas berbuat apa saja? Ketika berbagai kerusakan sistemik menimpa negeri ini, kaum sekuler membebankan kesalahan pada umat beragama. Sementara, ketika kaum beragama ingin berbuat bebas sesuai agamanya dihalangi. Contoh, apa yang disebut Perda bernuansa syariah ingin dihapus, padahal hasil musyawarah DPRD. Bukankah kaum demokrasi berkoar hendak menjunjung tinggi kemerdekaan individu untuk berbuat sesuai keinginannya? Orang berpoligami dicacimaki, sementara perselingkuhan, lesbian, homo dan kemungkaran lainnya dibiarkan. Logika apa yang dipakai kaum sekuler ini?

            Apakah ideologi sekuler itu sama dan sebangun dengan ideologi semau gue atau machiavelis, jika berkuasa maka dia yang berhak mengatur orang yang dikuasainya. Apakah sistim hidup semacam ini dapat menjamin kesejahteraan manusia yang menjadi dambaan manusia berakal. Bukankah sistim semau gue ini menciptakan peluang untuk berperang terus menerus antara kelompok manusia yang saling bertentangan kepentingannya sehingga rakyat kebanyakan menjadi korban nafsu elit sebagaimana sistim kapitalisme, komunisme, nasionalisme atau yang lain yang bersumber dari ideologi sekular?
            Kaum sekuler, liberalis dan nasionalis yang selalu menolak tatanan berbasis agama harus berani menjelaskan alasannya secara ilmiah ke hadapan publik, agar argumentasinya dapat diuji secara logika dan ilmiah. Dan yang lebih serius, umat Islam juga harus berani berterus terang, mau apa di negeri ini. Apakah terus menerus menjadi rakyat pinggiran, bersabar menerima perlakuan kaum sekuler yang menista dan menjauhkan agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara?

Bagaimana Pandangan fiqh kontemporer dan tradisional tentang konsepsi qath’i dan dzanni?


Jawaban ‘
1). Bagaimana Pandangan fiqh kontemporer dan tradisional tentang konsepsi qath’i dan dzanni?
            Masalah  fiqh  kontemporer adalah suatu bidang  kajian yang membicarakan perihal persoalan – persoalan  hokum islam  ijtihadiyah  yang  secara nyata  muncul  pada dewasa  ini dengan  menerapkan metode istimba t hokum dan analisa ilmiyah serta  pendekatan yang tepat  dan berorentasi pada  pemenuhan  kebutuhan  kemaslahatan manusia  dunia – aherat , “ Seiring dengan perkembangan zaman persoalan – persoalan  fiqh juga berkembang  dan tentu memerlukan  jawaban untuk  kepentingan kini dan yang akan dating.Telah banyak produk – produk pemikiran cerdas dalam bidang fiqh yang difprmulasikan para fukaha, namun perlu di evaluasi secara berkelanjutan agar tidak kehilangan relevansinya , ingat tujuan dari hokum islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia danm aherat. Adapun pandangan fiqh kontemporer dan traditional tentang konsepsi qath’i dan dzanni yaitu;
Dimana ushul fiqh telah digunakan dalam merespons peristiwa-peristiwa fiqhiyyah baru yang terus bermunculan. Namun demikian, penggunaan tersebut masih perlu dimaksimalkan sehingga ushul fiqh sebagai metode istinbanth benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Sebab pada kenyataannya ushul fiqh belum didayagunakan secara sungguh-sungguh sebagai perangkat produksi fiqh. Eksesnya, fiqh yang berkembang selama ini masih fiqh dengan perwajahan lama, yakni fiqh yang lahir dan hidup pada abad pertengahan. Sampai saat ini belum lahir fiqh kontemporer yang berbicara, misalnya, dunia internet, perbankan, transaksi bursa saham, korporasi bisnis antar negara, seluk beluk negara demokrasi dan seterusnya.
            Fenomena fiqh, boleh diakatakan sangat kontras dengan dunia iptek. Ketika penemuan demi penemuan teknologi baru terus bergulir cepat, fiqh bergerak amat perlahan, bahkan terkesan mandek dan stagnan. Kecanggihan hidup dalam dimensi teknik tidak diimbangi dengan kecanggihan fiqh. Seolah mengikuti logika hadits “khair al-qurun qarni tsumma al-ladzina yalunahum” (Sebaik-baiknya kurun adalah kurun saya sekarang kemudian disusul kurun-kurun berikutnya). Fiqh seolah hendak berkata, “masa tebaikku adalah masa a’immah al-madzhab atau imam-imam mdzhab, selanjutnya tidak ada lagi gerak maju”. Kalau pembacaan dengan cara ini dilanjutkan, fiqh boleh jadi tidak punya masa depan. Kitab-kitab kuning warisan ulama’  tempo dulu tidak lebih dari sekedar onggokan benda mati yang tidak relevan dengan tuntuan perubahan zaman.
Padahal kalau kita melihat akar sejarahnya, fiqh lahir dari dialog antara kehendak Tuhan dengan tuntutan realitas. Dus, watak dasar fiqh sesungguhnya bisa diwakilakan pada kata ‘dinamis’. Dinamika fiqh akan segera terbukti oleh betapa kayanya literatur yang memuatnya, yang sekarang kita sebut kitab kuning itu. Fiqh yang pada masa Rasul masih taman kanak-kanak, berkembang pesat dalam kurun tiga abad berikutnya. Sampai di abad ketiga hijriyah, ”pohon” pemikiran fiqh telah kokoh akarnya, kuat batangnya dan bahkan cabangnya menjulur kemana-mana. Kelahiran kitab induk masing-masing madzhab fiqh, segera disusul oleh kitab-kitab turunannya. Tradisi menyusun kitab matan, syarah, hasyiah, pasca keterbangunan madzhab-madzhab berkembang sangat pesat. Lapis demi lapis akitivitas berijtihad dan menulis kitab yang dipicu oleh pembuktian watak dinamis fiqh itulah yang kini kita warisi hasilnya. Itulah dia, kitab kuning.

 Pertanyaan yang kemudian cukup menggoda adalah: mengapa pada awal-awalnya fiqh hidup dalam dinamika tinggi, sementara kini fiqh menjadi rigid dan nelangsa? Jawaban yang bisa disodorkan adalah: ushul fiqh sebagai metodologinya telah kehilangan peran. Ushul fiqh tidak diperlakukan sebagaimana mestinya secara proporsional. Ushul fiqh tidak sungguh-sungguh didalami  untuk didayagunakan buat memproduksi fiqh baru yang lebih relevan dengan perubahan. Lantas, bagaimana mestinya Ushul fiqh diletakkan dan diberlakukan? Bagaimana kitab-kitab kuning bisa dibaca melalui ushul fiqh? Apa peran ushul fiqh untuk menjadikan fiqh kembali hidup sehat? Sebelum kita sampai pada jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya kita telusuri bagaimana cara kerja ushul fiqh memproduksi fiqh.
Secara kategorial, hukum islam terbagi menjadi qath’i dan dzanni. Hukum Islam yang qath’i diyakininya sebagai hukum Allah swt. Sementara yang dzanni berarti hukum syar’i yang diduga keras sebagai hukum Allah. Kategori qath’i-dzanni ini ditentukan oleh dalil. Hukum qath’i dilahirkan dari dalil nash juz’i, yaitu nash yang langsung menukik ke masalah tertentu. Sementara hukum zhanni, di-istinbathkan dari dalil-dalil atau nash kulli, dalil-dalil cabang (qiyas, mashlahah mursalah, istihsan dan lain-lain) atau al-qawa’id as-Syari’ah yang diperas dari nash kulli
Hukum-hukum dzanni inilah yang lantas membentuk fiqh. Sebagai akibat langsungnnya, produksi fiqh mesti melibatkan akal (ijtihad). Ijtihad hanya mungkin dilakukan dengan dua syarat utama, yaitu: pertama, penguasaan an-nushuh as-syari’ah dengan segala perangkatnya dan kedua, pemahaman yang mendalam terhadap maqashid as-syari’ah. Soal mana yang lebih menonjol dari dua perangkat ijtihad ini amat ditentukan oleh obyek ijtihad. Untuk ijtiihad yang menyangkut  istinbath min an-nushuh aksentuasinya pada syarat pertama. Sementara, ijtihad yang menyangkut ma’ani (mashlalah dan mafsadah), syarat kedua lebih menonjol perannya.
Namun demikian, ada juga ijtihad yang tidak memerlukan kedua syarat tadi, yaitu ijtihad yang menyangkut tahqiq al-manath. Misalnya:
1) melalui takhrij al-manath. Kita tahu bahwa ‘illat dari hukuman potong tangan adalah sariqah (pencurian). Selanjutnya, perlu di-ijtihadi apakah illat tersebut ada pada pencopet atau tidak.
2) Dalam syahadah (kesaksian), manath al-ilzam ialah ‘adalah al-syahid (kedilan seorang saksi). Apakah saksi A adil atau tidak ditentukan dengan tahqiq al-manath. 3) Manath al-hukm pada nafaqah al-qarib adalah al-kifayah (kecukupan). Soal menentukan apakah satu kilogram sudah merupakan kadar al-kifayah atau tidak, masuk dalam kategori ijtihad tahqiq al-manath.
           
Bermula dari dua syarat ijtihad tadi, ushul fiqh memfokuskan perhatiannya pada dua tema besar, yaitu:
1) fahm nushus asy-syari’ah (memahami teks-teks syar’i) yang kemudian menurunkan ilmu al-qawa’id al-ushuliyah al-lughawiyah,
2) fahm maqashid as-syari’ah yang kemudian memunculkan ilmu al-qawa’id al-ushuliyah at-tasyri’iyah. Dua tema inilah yang menjadi sentral bahasan dalam ushul al-fqh. Dus, menguasasi ushul fiqh berarti menguasai kedua perangkat ini.

 Dari bahasan tsb. tampak bahwa ushul fiqh menjadi driving force bagi corak dan bentuk fiqh. Dua wilayah produksi fiqh, yaitu nushush dan maqashid, tidak bisa eksis tanpa melibatkan ushul fiqh. Dan melibatkan ushul fiqh bermakna melibatkan akal secara intensif. Explorasi akal terjadi pada dua level sekaligus, yaitu level memahami mahkum fih (ijtihad tahqiq al-manath) dan level menemukan, menggali dan mendapatkan buah dari adillah al-ahkam. Seungguh menggairahkan. Kerja memproduksi fiqh dengan demikian adalah kerja yang menantang dan penuh dinamika.
Apa yang penting untuk dimunculkan kemudian adalah upaya serius untuk kembali memperlakukan ushul fiqh sebagaimana mestinya secara proporsional. Target terdekat yang diharapkan adalah menghidupkan kembali kitab kuning yang bunyi tekstualnya tidak lagi relevan dengan realitas. Kitab kuning mesti dibaca melalui ushul fiqh. Sehingga, yang menjadi fokus perhatian bukan terutama pada apa bunyi harfiahnya teks, tetapi lebih pada nalar macam apa yang mampu melahirkan teks tersebut. Muammad Khudari Bik mensinyalir bahwa pelajar fiqh belakangan ini telah kehilangan malakah fiqhiyyah-nya sehingga yang dilakukan mereka adalah sekadar menghafal. Berteman dan lantas tunduk terhadap bunyi tektual kitab-kitab warisan ulama dulu. Sementara, bagaimana para ulama itu bekerja, bagaimana mereka bernalar, situasi macam apa yang turut mempengaruhi hasil ijtihad mereka, gagal direngkuh. Akibatnya, fiqh menjadi tidak berkembang pesat sebagaimana pesatnya perubahan realitas. Ini tidak lebih kaena watak dinamis fiqh telah “dibunuh” justru oleh komunitasnya sendiri.
Pekerjaan rumah yang  mesti kita lakukan adalah bagaimana melakukan pertemanan kritis dengan kitab kuning. Boleh jadi apa yang tertuang dalam kitab-kitab itu tetap relevan dengan realitas masa kini sehinga bisa kita pakai. Tetapi boleh jadi juga, ia tidak lagi relevan. Ukurannya adalah seberapa kuat dalilnya dan seberapa maksimal pelayanannya terhadap tuntunan realitas (maslahah). Di sinilah sesungguhnya wilayah yang menjadi tempat bermainnya ushul fiqh.