Jawaban ‘
1). Bagaimana
Pandangan fiqh kontemporer dan tradisional tentang konsepsi qath’i dan dzanni?
Masalah fiqh kontemporer
adalah suatu bidang kajian yang
membicarakan perihal persoalan – persoalan
hokum islam ijtihadiyah yang
secara nyata muncul pada dewasa
ini dengan menerapkan metode
istimba t hokum dan analisa ilmiyah serta
pendekatan yang tepat dan
berorentasi pada pemenuhan kebutuhan
kemaslahatan manusia dunia –
aherat , “ Seiring dengan perkembangan zaman persoalan – persoalan fiqh juga berkembang dan tentu memerlukan jawaban untuk
kepentingan kini dan yang akan dating.Telah banyak produk – produk
pemikiran cerdas dalam bidang fiqh yang difprmulasikan para fukaha, namun perlu
di evaluasi secara berkelanjutan agar tidak kehilangan relevansinya , ingat
tujuan dari hokum islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia
danm aherat. Adapun pandangan fiqh kontemporer dan traditional tentang konsepsi
qath’i dan dzanni yaitu;
Dimana
ushul fiqh telah digunakan dalam merespons peristiwa-peristiwa fiqhiyyah
baru yang terus bermunculan. Namun demikian, penggunaan tersebut masih perlu
dimaksimalkan sehingga ushul fiqh sebagai metode istinbanth benar-benar
berfungsi sebagaimana mestinya. Sebab pada kenyataannya ushul fiqh belum
didayagunakan secara sungguh-sungguh sebagai perangkat produksi fiqh. Eksesnya,
fiqh yang berkembang selama ini masih fiqh dengan perwajahan lama, yakni fiqh
yang lahir dan hidup pada abad pertengahan. Sampai saat ini belum lahir fiqh
kontemporer yang berbicara, misalnya, dunia internet, perbankan, transaksi
bursa saham, korporasi bisnis antar negara, seluk beluk negara demokrasi dan
seterusnya.
Fenomena
fiqh, boleh diakatakan sangat kontras dengan dunia iptek. Ketika penemuan demi
penemuan teknologi baru terus bergulir cepat, fiqh bergerak amat perlahan,
bahkan terkesan mandek dan stagnan. Kecanggihan hidup dalam dimensi teknik
tidak diimbangi dengan kecanggihan fiqh. Seolah mengikuti logika hadits “khair
al-qurun qarni tsumma al-ladzina yalunahum” (Sebaik-baiknya kurun adalah
kurun saya sekarang kemudian disusul kurun-kurun berikutnya). Fiqh seolah
hendak berkata, “masa tebaikku adalah masa a’immah al-madzhab atau
imam-imam mdzhab, selanjutnya tidak ada lagi gerak maju”. Kalau pembacaan
dengan cara ini dilanjutkan, fiqh boleh jadi tidak punya masa depan.
Kitab-kitab kuning warisan ulama’ tempo dulu tidak lebih dari sekedar
onggokan benda mati yang tidak relevan dengan tuntuan perubahan zaman.
Padahal kalau kita melihat akar sejarahnya, fiqh
lahir dari dialog antara kehendak Tuhan dengan tuntutan realitas. Dus, watak
dasar fiqh sesungguhnya bisa diwakilakan pada kata ‘dinamis’. Dinamika fiqh
akan segera terbukti oleh betapa kayanya literatur yang memuatnya, yang
sekarang kita sebut kitab kuning itu. Fiqh yang pada masa Rasul masih taman
kanak-kanak, berkembang pesat dalam kurun tiga abad berikutnya. Sampai di abad
ketiga hijriyah, ”pohon” pemikiran fiqh telah kokoh akarnya, kuat batangnya dan
bahkan cabangnya menjulur kemana-mana. Kelahiran kitab induk masing-masing
madzhab fiqh, segera disusul oleh kitab-kitab turunannya. Tradisi menyusun
kitab matan, syarah, hasyiah, pasca keterbangunan madzhab-madzhab berkembang
sangat pesat. Lapis demi lapis akitivitas berijtihad dan menulis kitab yang
dipicu oleh pembuktian watak dinamis fiqh itulah yang kini kita warisi
hasilnya. Itulah dia, kitab kuning.
Pertanyaan
yang kemudian cukup menggoda adalah: mengapa pada awal-awalnya fiqh hidup dalam
dinamika tinggi, sementara kini fiqh menjadi rigid dan nelangsa? Jawaban yang
bisa disodorkan adalah: ushul fiqh sebagai metodologinya telah kehilangan peran.
Ushul fiqh tidak diperlakukan sebagaimana mestinya secara proporsional. Ushul
fiqh tidak sungguh-sungguh didalami untuk didayagunakan buat memproduksi
fiqh baru yang lebih relevan dengan perubahan. Lantas, bagaimana mestinya Ushul
fiqh diletakkan dan diberlakukan? Bagaimana kitab-kitab kuning bisa dibaca
melalui ushul fiqh? Apa peran ushul fiqh untuk menjadikan fiqh kembali hidup
sehat? Sebelum kita sampai pada jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya
kita telusuri bagaimana cara kerja ushul fiqh memproduksi fiqh.
Secara kategorial, hukum islam terbagi menjadi qath’i
dan dzanni. Hukum Islam yang qath’i diyakininya sebagai hukum
Allah swt. Sementara yang dzanni berarti hukum syar’i yang
diduga keras sebagai hukum Allah. Kategori qath’i-dzanni ini
ditentukan oleh dalil. Hukum qath’i dilahirkan dari dalil nash
juz’i, yaitu nash yang langsung menukik ke masalah tertentu.
Sementara hukum zhanni, di-istinbathkan dari dalil-dalil atau nash
kulli, dalil-dalil cabang (qiyas, mashlahah mursalah, istihsan
dan lain-lain) atau al-qawa’id as-Syari’ah yang diperas dari nash kulli
Hukum-hukum dzanni inilah yang lantas
membentuk fiqh. Sebagai akibat langsungnnya, produksi fiqh mesti melibatkan
akal (ijtihad). Ijtihad hanya mungkin dilakukan dengan dua syarat utama, yaitu:
pertama, penguasaan an-nushuh as-syari’ah dengan segala perangkatnya
dan kedua, pemahaman yang mendalam terhadap maqashid as-syari’ah. Soal
mana yang lebih menonjol dari dua perangkat ijtihad ini amat ditentukan oleh
obyek ijtihad. Untuk ijtiihad yang menyangkut istinbath min an-nushuh
aksentuasinya pada syarat pertama. Sementara, ijtihad yang menyangkut ma’ani
(mashlalah dan mafsadah), syarat kedua lebih menonjol
perannya.
Namun demikian, ada juga ijtihad yang tidak memerlukan kedua syarat tadi, yaitu
ijtihad yang menyangkut tahqiq al-manath. Misalnya:
1) melalui takhrij al-manath. Kita tahu bahwa ‘illat dari
hukuman potong tangan adalah sariqah (pencurian). Selanjutnya, perlu
di-ijtihadi apakah illat tersebut ada pada pencopet atau tidak.
2) Dalam syahadah (kesaksian), manath al-ilzam ialah ‘adalah
al-syahid (kedilan seorang saksi). Apakah saksi A adil atau tidak
ditentukan dengan tahqiq al-manath. 3) Manath al-hukm pada nafaqah
al-qarib adalah al-kifayah (kecukupan). Soal menentukan apakah
satu kilogram sudah merupakan kadar al-kifayah atau tidak, masuk dalam
kategori ijtihad tahqiq al-manath.
Bermula dari dua syarat ijtihad tadi, ushul fiqh memfokuskan perhatiannya
pada dua tema besar, yaitu:
1) fahm nushus asy-syari’ah (memahami
teks-teks syar’i) yang kemudian menurunkan ilmu al-qawa’id al-ushuliyah
al-lughawiyah,
2) fahm maqashid as-syari’ah yang kemudian
memunculkan ilmu al-qawa’id al-ushuliyah at-tasyri’iyah. Dua tema
inilah yang menjadi sentral bahasan dalam ushul al-fqh. Dus, menguasasi ushul
fiqh berarti menguasai kedua perangkat ini.
Dari bahasan tsb. tampak bahwa ushul
fiqh menjadi driving force bagi corak dan bentuk fiqh. Dua wilayah
produksi fiqh, yaitu nushush dan maqashid, tidak bisa eksis
tanpa melibatkan ushul fiqh. Dan melibatkan ushul fiqh bermakna melibatkan akal
secara intensif. Explorasi akal terjadi pada dua level sekaligus, yaitu level
memahami mahkum fih (ijtihad tahqiq al-manath) dan level
menemukan, menggali dan mendapatkan buah dari adillah al-ahkam. Seungguh
menggairahkan. Kerja memproduksi fiqh dengan demikian adalah kerja yang
menantang dan penuh dinamika.
Apa yang penting untuk dimunculkan kemudian adalah upaya serius untuk
kembali memperlakukan ushul fiqh sebagaimana mestinya secara proporsional.
Target terdekat yang diharapkan adalah menghidupkan kembali kitab kuning yang
bunyi tekstualnya tidak lagi relevan dengan realitas. Kitab kuning mesti dibaca
melalui ushul fiqh. Sehingga, yang menjadi fokus perhatian bukan terutama pada
apa bunyi harfiahnya teks, tetapi lebih pada nalar macam apa yang
mampu melahirkan teks tersebut. Muammad Khudari Bik mensinyalir bahwa pelajar
fiqh belakangan ini telah kehilangan malakah fiqhiyyah-nya sehingga
yang dilakukan mereka adalah sekadar menghafal. Berteman dan lantas tunduk
terhadap bunyi tektual kitab-kitab warisan ulama dulu. Sementara, bagaimana
para ulama itu bekerja, bagaimana mereka bernalar, situasi macam apa yang turut
mempengaruhi hasil ijtihad mereka, gagal direngkuh. Akibatnya, fiqh menjadi
tidak berkembang pesat sebagaimana pesatnya perubahan realitas. Ini tidak lebih
kaena watak dinamis fiqh telah “dibunuh” justru oleh komunitasnya sendiri.
Pekerjaan rumah yang mesti kita lakukan adalah bagaimana melakukan
pertemanan kritis dengan kitab kuning. Boleh jadi apa yang tertuang dalam
kitab-kitab itu tetap relevan dengan realitas masa kini sehinga bisa kita
pakai. Tetapi boleh jadi juga, ia tidak lagi relevan. Ukurannya adalah seberapa
kuat dalilnya dan seberapa maksimal pelayanannya terhadap tuntunan realitas (maslahah).
Di sinilah sesungguhnya wilayah yang menjadi tempat bermainnya ushul fiqh.